Selasa, 10 Februari 2009

Nandang Tea!

Bicaralah Tanah dan Melek Jurnalistik
By redaksi Radar Banten
Jumat, 09-November-2007

Tanah identik dengan petani. Sementara petani sepanjang sejarahnya adalah dunia yang sakit, tertindas, terdominasi dan termarjinalkan.
Tetapi di tengah itu semua petani tetap saja memiliki semangat. Ia masih tetap hidup di tengah tanah yang kiat menyusut dan tak gembur lagi. Begitulah catatan pengantar Nandang Aradea, sang pencetus yang juga sutradara teater berjudul Bicaralah Tanah yang dipentaskan pertengahan Juli 2007 lalu di Taktakan Serang Banten. Selain di Serang Bicaralah Tanah juga dipentaskan di Cultur Center France (CCF) Bandung pada 3 Agustus dan Pusat Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Rusia (20 Agustus.
Ya, potret petani memang mengerikan. Meski pun harga gabah naik di pasaran. Nasibnya tidak pernah bergeser. Seorang petani yang tidak jauh berada di lingkurang Rumah Dunia (RD) sering curhat jika nasib petani selalu saja tidak menyenangkan. “Petani tidak pernah mengenyam kebahagian. Meski di pasaran harga beras naik. Yang untuk bukan petani tetapi saudagar,” ungkap Sapit salah seorang petani dengan jawa Serangnya. Sementara subsudi yang digolontorkan pemerintah, kata Sapit seringkali tidak sampai ke tangan petani. Macet di tangan orang-orang yang serakah. Kalau pun sampai itu tidak sampai setengahnya. Pengakuan Sapit memang bukan hal yang baru. Sudah sejak lama, seperti yang diutarakan Nandang sepanjang sejarahnya selalu menjadi orang yang kalah. Padahal begitu besar dan tak ternilai jasa petani kepada kita. Berapa banyak pejabat yang tidak akan makan jika petani yang ada di Banten ini mogok untuk tidak pergi ke sawah?
Terdorong oleh rasa keprihatinan itulah RD ingin mendiskusikan pemikiran-pemikiran Nandang Aradea (Pernah kuliah di Rusia) tentang petani ini bersama segenap masyarakat yang lainnya. Diskusi itu akan mendatangkan Kepala Bagian Pangan Banten (Kadolog), Rakip salah seorang petani di daerah Ciloang. Bagaimana harusnya petani? dan apa pula yang harus segera dilakukan terhadap nasib petani di Banten? Datanglah ke Rumah Dunia pada Sabtu (10/11) siang jam 2 nanti.
Citra Petani
Selain ketiga pembicara itu dalam diskusi nanti akan hadir sebagai pembicara Rachmat dari Karang Widya Bogor. Karang Widya adalah salah lembaga yang mengembangkan pertanian organik di Bogor. Sejak tahun 2001 bersama teman-temannya di daerah Cisarua ia mengembangkan keahlian petani yang berwiraswasta. “Yang memiliki wawasan yang luas. Mengerti teknik penjualan dan pengelolaan yang menyesuaikan dengan alam yaitu pengelolaan pertanian dengan organik,” kata Rachmat. Rachmat bersama Karang Widya ingin mengubah citra petani yang identik dengan kotor lekat dengan lumpur, miskin dan kumuh. Mungkin ini hanya sebuah utopia. “Tapi kita berikhtiar dan terus bersemangat,” kata Rachmat. Memang Rachmat sudah membuktikannya. Ia melatih anak-anak muda yang tidak memiliki aktivitas untuk dibina di tempatnya di Cisarua Bogor. Pelatihan ini gratis dan berlangsung selama enam bulan.
Dengan difasilitasi RD empat pemuda Ciloang mengikuti pelatihan ini. Mereka adalah Adjat, Ujer, Joni dan Beuti. “Selain diberi wawasan tentang pengelolaan pertanian organik kami juga diberi pelatihan personal, “ kata Ajat. “Banyak manfaat yang saya dapatkan di sana,” tambah Jon. Tapi Jon dan Ajat mengaku masih kesusahan untuk mengembangkan di Ciloang. Alasannya karena mereka tidak mempunyai banyak lahan. Tapi Ajat dan Jon sudah bertemu Pak Pendi, Rt Ciloang dan ketua pemuda Miftakhil. RD dan Karang Widya memfasilitasinya pada Senin (5/11) kemarin. Rachmat yang menjadi instruktur hadir dalam acara itu. “Kami siap menjadi partner. Asal terus berkoordinasi” kata Takil. Saat ini Ajat dan Jon sedang membuat contoh atau etalase di belakangan rumahnya yang tidak luas. “Semoga ini bisa menjadi perhatian warga dan mereka tertarik,” kata Adjat. Selain kendala lahan, tentu banyak hal lagi kendala yang dihadapi seorang petani. Semoga pada acara diskusi nanti kita bisa melahirkan solusi. Paling tidak sedikit solusi sehingga tanah tak lagi murka. Biarkan tanah bicara. Kita yang harus mendengarkan suara itu.
Melek Jurnalistik
Di tengah suara tanah yang mengiang-ngian itu kami kedatangan siswa-siswi SMP Islam Al-Izzah Serang. Mereka datang ke Rumah Dunia untuk mengetahui dunia tulis menulis. Sekitar 60 orang ikut dalam acara yang bertema dengan melek jurnalistik itu. Selain Awi Seruling, Shodik dan Deden, Presiden RD Firman Venayaksa juga ikut menemani mereka. Menurut ketua pelaksana Denny Indra Nugraha kunjungan ini untuk menumbuhkan semangat pada siswa di dunia tulis menulis “khususnya dunia jurnalistik,” kata Denny. Semoga mereka memang melek jurnalistik dan bisa mendengar suara tanah!

Aji Setiakarya, Kuncen Lumbung Banten
Mahasiswa Komunikasi Untirta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar