Senin, 01 Juni 2009

Surat Terbuka untuk Sahabatku Iman Ariadi

(A Tribute for Widji Thukul)

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
(Peringatan, Widji Thukul 1987)

MENGENANG SOSOK WIDJI THUKUL
Sewaktu masih kuliah di ITB saya mulai mengenal sajak-sajak pembebasan Widji Thukul, buku kumpulan puisi Widji Thukul yang pertama saya baca adalah Aku Ingin jadi Peluru (2000), berdebar hati ini membaca jeritan dan perlawanan sang penyair miskin asal solo itu, seakan-akan kata-kata itu hidup dan berteriak lantang di alam nuraniku. Sekitar tahun 2004 aku juga sempat bertemu dengan Mba Sipon, istri Widji Thukul di Bandung dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Kontras. Mba Sipon kini bergabung bersama LSM Pro Demokrasi yang sibuk mengkampanyekan gerakan moril melawan kekerasan Negara. Rupanya semangat Widji menginspirasi Mba Sipon untuk berjuang menegakkan kemanusiaan.
Sajak-sajak Widji lahir dari kegelisahan dan himpitan hidup yang dialami langsung oleh sang penyair, rumah Widji berlantai tanah, di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk, sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan, kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar tanpa kran air ledeng. Terkadang Widji mengamen puisi sekedar mencari receh, kadang ia menjadi kuli murah pengecat meubel, kadang jadi tukang Koran, pokoknya pekerjaan-pekerjaan rendahan yang tak tetap dijalaninya demi sesuap nasi. Nuansa kemelaratan hidup jelas mewarnai hampir semua karya-karyanya, mari kita simak petikan sajak Catatan Hari Ini yang dibuat pada Juni 1986;

Aku nganggur lagi
Ibu kelap-kelip matanya ngitung hutang
Bapak pulang kerja
Setelah makan sepiring
Lalu mandi tanpa sabun
Tadi siang ibu tanya padaku
Kapan ada uang?

Bahasanya lugas, sederhana dan menukik, itulah ciri khas yang melekat pada guratan-guratan syairnya, hal itulah yang membuat syairnya terus hidup walau sang penyair telah tiada hilang entah kemana. Konon kabarnya Widji Thukul dihilangkan paksa oleh rezim ORBA Soeharto, hingga kini jasadnya tak diketemukan, mungkinkah Tim Mawar Prabowo berada dibelakang penculikan Widji? Wallahu’alam.

Sadar bahwa organisasi adalah sarana atau alat perjuangan dan perlawanan, pada tahun 1994 ia bersama kawan-kawannya mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), pada Mei 1994 ia berkumpul bersama dengan elemen-elemen Pro Demokrasi di Jakarta, dalam pertemuan akbar tersebut didirikanlah payung organisasi yang bernama Persatuan Rakyat Demokratik, dalam pertemuan itu pula Widji dipilih menjadi ketua divisi kebudayaan. Memasuki tahun 1996, Persatuan Rakyat Demokratik berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik. Lima hari setelah deklarasi PRD, pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan kantor PDI Megawati di Jalan Diponegoro, militer langsung menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan, suatu tuduhan yang kemudian hari tak terbukti di pengadilan. Pada bulan Oktober 1994 PRD dan Jakker dibubarkan oleh rezim Soeharto. Setelah pimpinan PRD ditangkapi PRD bergerak di bawah tanah. Setelah itu Widji menghilang entah kemana, spekulasi bereder ia dihilangkan paksa oleh pihak militer Soeharto, tapi hingga kini jasadnya belum diketemukan.

KONSOLIDASI DEMOKRASI PASCA REFORMASI
Widji telah tiada, tapi kerja kerasnya membuka pintu emas demokrasi akan terus dikenang oleh sejarah. Pasca reformasi Indonesia terus berbenah, berbagai perubahan berjalan perlahan, hari ini kita bisa berteriak lantang tanpa adanya intimidasi dari pihak militer, hari ini kita bisa berdemonstrasi, berdiskusi, berorganisasi tanpa gangguan dari pihak manapun. Ada beberapa perubahan yang cukup besar di ranah politik Indonesia seperti; Penerapan Sistem Multipartai, Pilpres Langsung, Penerapan Sistem Parlemen Bicameral, Pilkada Langsung, diakomodirnya calon Independen pada Pilkada Langsung, Penerapan Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Penerapan Otonomi Daerah. Saya optimis kelak Indonesia bergerak secara perlahan-lahan menjadi negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, karena jauh sebelum reformasi dijalankan, para founding father bangsa kita telah meletakkan dua fondasi demokrasi yang kuat bagi Indonesia, yakni pertama, prinsip Bhinneka Tunggal Ika, “berbeda-beda tapi satu jua”, prinsip Bhinneka tunggal Ika bermakna lebih luas ketimbang prinsip “pluralism” yang gembor-gemborkan pihak barat. Mari kita bahas secara singkat tulisan Mpu Sutasoma;

Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangrawa,
Rwaneka datu winuwus wara buda wiswa,
Bhineki rakwa ringapan kena parwa nosen,
Mangkan jinatwa, kalawan siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa

Sumber-sumber ajaran agama kuno berbeda-beda,
Tapi bicara mengenai Sang Kuasa, kapankah dia dapat dibagi-bagi,
Karena baik ajaran siwa-maupun budha, adalah tunggal,
Berbeda-beda tetap tunggal, dharma tak dapat dibagi-bagi

Jaman dahulu, ratusan tahun yang silam, perang besar antara agama budha dan siwa nyaris terjadi. Hal itu dapat dicegah, karena dialog antara pemuka-pemuka agama. Dialog tersebut mengasilkan fatwa yang mengikat kedua belah pihak. Fatwa tersebut juga yang akhirnya mengikat kerukunan seluruh nusantara ratusan tahun kemudian.

Di era kemerdekaan, Bung Karno, Sang Proklamator, menyatakan diri sebagai ”penggali” bukan pencipta Pancasila. Karena Pancasila sudah menjadi pedoman atau falsafah hidup warga Nusantara, sejak ribuan tahun yang silam. Bhineka Tunggal Ika, sudah menjadi bhisama yang mengikat bagi kerajaan-kerajaan di Tanah Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konflik-konflik agama, bukannya baru terjadi sekarang ini, melainkan telah pernah terjadi berkali-kali dalam kurun waktu ratusan tahun. Bangsa kita telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan persatuan dan kesatuan. Inilah sebuah “Legacy” yang akan terus turun temurun dilanggengkan oleh anak cucu Indonesia. Oleh karenanya saya berkeyakinan demokrasi yang dijiwai dengan semangat “bhinneka” akan mampu menjadi demokrasi yang berkualitas.

Prinsip kedua, prinsip pada sila ke-empat Pancasila yakni; “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawarahan-perwakilan”. Demokrasi yang dikehendaki founding father adalah demokrasi perwakilan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan bukan demokrasi Machiavelli-an yang saling menyerang dan membunuh, atau demokrasi kebablasan yang melahirkan anarkhi dan teror.

OTONOMI DAERAH DAN KONSOLIDASI DEMOKRASI DI TINGKATAN LOKAL
Manarik apa yang sudah diungkapkan oleh sahabatku, Iman Ariadi dalam artikelnya di Barayapost yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Sejak tahun 2003 saya dan beberapa kawan-kawan di Bandung sering berkumpul dan berdiskusi tentang persoalan pokok yang dihadapi masyarakat Banten pada umumnya dan masyarakat Cilegon pada khususnya, kami berpendapat bahwa persoalan pokok yang dihadapi Banten adalah persoalan kepemimpinan yang lemah, kepemimpinan yang tak memiliki visi, kepemimpinan yang kurang bersih, itulah yang mengakibatkan Banten lamban bertransformasi menjadi daerah yang maju, kita melihat perbedaan besar misalnya antara Banten dan Gorontalo, padahal usia kedua provinsi tersebut hampir sama tapi mengapa Banten tertinggal dengan Gorontalo?, jawabannya adalah “kepemimpinan yang lemah!”.

Lambannya pembangunan dan pemerataan ekonomi menuju kemajuan dan kemakmuran daerah bukan hanya terjadi di Cilegon, Pandeglang, Serang atau Banten tapi juga terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, Otonomi Daerah yang merupakan dambaan rakyat Indonesia sejak tahun 50-an rupanya belum mampu menjadi alat yang efektif untuk memakmurkan dan memajukan daerah, apakah ini sebuah paradok Otonomi Daerah ataukah Otonomi Daerah memerlukan waktu yang “agak panjang” untuk berproses dan beradaptasi di Indonesia?.

Pasca Otonomi daerah dijalankan di Banten, kita mendapati fakta, para pemimpin yang muncul justru tidak memiliki visi, malah justru berwatak “binatang”, Gubernur Banten yang pertama terjerat kasus Korupsi Dana Kavling Perumahan, Pimpinan DPRD Banten juga dipenjara akibat Kasus Korupsi Dana Perumahan. Hari ini di Pandeglang, Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah terjerat Kasus Korupsi Dana Hutang Daerah sebesar 200 milyar rupiah, di Cilegon beberapa kasus korupsi seperti Kasus Pembebasan Lahan Kubangsari, Kasus Jasa Pelabuhan, Kasus Penggelapan Dana Perusahaan Labour Supply, Kasus Mark Up Tugboat, Kasus Pagar Dewan, Kasus Mark Up Lahan BLK dan lain-lain, ternyata Otonomi Daerah menghasilkan penguasa-penguasa beserta kroni yang korup.

Ini merupakan fakta bahwa dibukanya keran Otonomi Daerah dan Demokrasi tidak lantas mengakibatkan masyarakat menjadi makmur, mengapa hal ini terjadi?. Menurut saya pertama, ini diakibatkan karena demokrasi dijalanakan tanpa penegakan hukum, demokrasi yang demikian itu hanya akan menguntungkun elit-elit politik dan kroni penguasa, sehingga untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu diimbangi oleh proses penegakan hukum. Kedua, untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu kiranya kita mengangkat pemimpin yang memiliki visi jangka panjang, tapi apakah mungkin dengan pendidikan politik yang lemah masyarakat mampu mengangkat pemimpin yang visioner?, bukankah pemimpin lahir dari rahim rakyat? Sehingga model kepemimpinan akan mengikuti tahapan perkembangan rakyat, dimana “rakyat yang kurang sehat” akan melahirkan “pemimpin yang kurang sehat”?. Inilah tantangan para intelektual muda untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar masyarakat berhati-hati dalam menentukan pilihan politis-nya terutama sekali perihal menentukan pemimpin masa depan.

KRITIK TERHADAP ARTIKEL IMAN ARIADI
Iman Ariadi dalam artikelnya yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal di Harian Barayapost (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Mari kita petik dan bahas beberapa tulisan Iman dari pembukaan hingga penutup:
Di awal tulisannya Iman mengungkap fenomena transisi demokrasi yang menggelisahkan hatinya dan hati ayahnya(?);

“…selain bermunculannya partai-partai, fenomena lain dalam transisi demokrasi adalah munculnya kelompok-kelompok kepentingan (interest group), yang berubah menjadi kelompok penekan (pressure group) yang berusaha untuk mempengaruhi serta melakukan upaya-upaya mobilisasi massa agar masuk dalam arena public dengan harapan dapat meraih kekuasaan dengan cara menekan pemerintah agar posisi pemerintah menjadi lemah di hadapan rakyat…”
Iman memandang negatif pada “pressure group” padahal keberadaan “pressure group” justru mutlak diperlukan guna mengimbangi kekuasaan eksekutif yang terlampau besar, terutama kekuasan kepala daerah di zaman Otda. Kekuatan parlemen sebagai penyeimbang acap kali tak mampu berbuat apa-apa dan tidak efektif menjadi kekuatan kontrol, karena terkadang dikalahkan oleh konsensus-konsensus yang dibuat oleh eksekutif untuk menjinakkan kekuatan partai-partai politik sehingga kekuatan gerakan ekstra-parlementer mutlak diperlukan untuk mengimbangi kekuatan eksekutif.

Lalu Iman menukil catatan beberapa pemikir barat:

“…menurut Gerry Stokker bangunan demokrasi di tingkatan local akan menopang kuatnya demokrasi di tingkatan nasional…”

Tanpa harus menukil pemikiran Gery Stokker semua kaum intelektual sudah paham dengan gagasan tersebut, kekuatan ekonomi politik yang solid di daerah akan berdampak pada
penguatan ekonomi-politik secara makro. Kemudian Iman melanjutkan ;

“….budaya asal kritik yang dilakukan oleh kelompok demonstran yang biasa mengatasnamakan LSM perubahan misalnya, pada fakta sebenarnya mereka justru mendompleng isu perubahan untuk kepentingan politik praktis. Pada kontek ini mereka sedang mengmbangkan budaya asal kritik meskipun kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”.

"Salah satu tawaran Jhon Stewart adalah adanya pendidikan politik bagi masyarakat, sementara David Curry memberikan tawaran konsep yang salah satunya adalah bagaimana elit politik local menjadi generator bagi terciptanya kepentingan masyarakat, konsep yang ditawarkan kedua pemikir berpijak pada satu kenyataan bahwa intensitas masyarakat di tingkat local dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari lebih dimungkinkan terlibat dalam dinamika lokalm daripada isu yang bersifat makro-nasional…"

Pernyataan Iman dalam tulisan diatas menggunakan teknik klasik untuk menyerang musuh politik secara elegan dengan cara menukil secuil pemikiran Jhon Stewart dan David Curry, Iman menyebut pressure group sebagai “Kelompok demonstran yang mengatasnamakan LSM Perubahan” lalu ia menegaskan massege politiknya ”kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”. Serangan itu tertuju kepada para aktivis Brigade Pelopor Perubahan (BPP) yang acap kali turun aksi untuk mendesak penuntasan kasus korupsi di kota Cilegon, adapun tuduhan Iman terkait “kritik yang asal-asalan” jelas hal ini bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang dikeluarkan oleh aktivis BPP, para aktivis BPP siap bertanggungjawab penuh terhadap validitas kritik yang dilontarkan.

Apa yang dilakukan para aktivis BPP adalah semunya demi memperkuat kualitas demokrasi di daerah, demokrasi tanpa penegaklan hukum hanyalah “demokrasi sampah” yang tidak akan mampu menghasilkan cita-cita luhur para pendiri bangsa yakni kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Kami menyadari bahwa perjuangan yang kami lakukan tentunya akan menemui berbagai rintangan dan halangan, ini jelas terlihat ketika ada beberapa LSM Pro Pemerintah yang men-cap Ir.Isbatullah Alibasja sebagai provokator yang mengakibatkan suasana cilegon menjadi tidak kondusif, trik-trik politik model demikian mengingatkan kita pada operasi-operasi khusus (opsus) yang dilakukan rezim ORBA pada organisasi-orgaisasi yang dianggap membahayakan pemerintah, sehingga ada sebagian kaum intelektual muda cilegon yang menganggap bahwa rezim yang berkuasa di Cilegon menyerupai “miniatur rezim ORBA Soeharto”. Tapi kami tak berkecil hati karena dahulu Bung Kano, Hatta dan Tan Malaka pun dicap pengacau dan provokator oleh Belanda tapi sejarah membuktikan bahwa mereka adalah para pembela bangsa. Biarlah sejarah yang akan menilai apakah Ir.Isbatullah Alibasja adalah provokator ataukah ia pembela rakyat kota Cilegon.

Kemudian Iman menulis di akhir tulisannya untuk mempertegas “massage politik” yang ia hendak sampaikan ke publik:

“…Tak selayaknya elit politik melakukan tindakan politisasi negatif yang jauh dari nilai-nilai kesantunan politik (fatsoen politik), yang orientasinya hanya sebatas kepentingan politik sesaat...”

Pandangan saudara Iman sangat nampak sekali terlihat sebagai bentuk pembelaan terhadap ayahnya, Aat Syafaat yang menjabat sebagai Walikota Cilegon. Terkait dengan mulai beraninya elemen-elemen Pro Demokrasi di kota Cilegon melakukan aksi massa yang menuntut penuntasan kasus korupsi dan penegakan keadilan, karena intensitas aksi di kota cilegon mulai naik, rezim yang berkuasa mengalami kepanikan. Kita melihat beberapa pekan terakhir beberapa aksi massa yang dilakukan aktifis BPP, Mahasiswa dan Serikat Buruh PT.KS berjalan massif dan damai.

Sebagai sahabat, saya hendak menyampaikan kepada saudara Iman Ariadi bahwa tanpa adanya kemerdekaan Pers dan kedaulatan Ornop (baca: organisasi non pemerintah) demokrasi lokal akan terasa hambar dan hanya akan menjadi demokrasi yang lemah, oleh karenanya kami aktivis BPP akan terus berjuang tanpa lelah untuk memperkuat demokrasi lokal serta mendorong konsolidasi demokrasi menuju terciptanya kemakmuran dan keadilan di kota Cilegon. Sekali lagi kami mengingatkan kepada rezim yang berkuasa di kota Cilegon, jika kritik kami dianggap sebagai bentuk provokasi, maka jawaban kami ada di bait terakhir puisi “peringatan” karya Widji Thukul :

Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!

Lalu Iman di alinea terakhir menulis sambil berharap:

“…harapannya di masa depan akan muncul calon-calon pemimpin daerah yang tidak hanya sekedar pemimpin tetapi juga sebagai generator...”

Saya sependapat dengan saudara Iman perihal pemimpin daerah yang berfungsi sebagai generator, tapi menurut saya pemimpin daerah tidak cukup hanya menjadi generator, ia juga harus mampu menjadi katalisator yang mempercepat “reaksi kimia politik” yang mengakibatkan kemakmuran dan pemerataan. Wallahua’lam

Ir.Isbatullah Alibasja
Komandan Brigade Pelopor Perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar