Bendahara tak Berhak Pegang Uang Jaspel
By redaksi Radar Banten
Kamis, 25-Juni-2009
SERANG – Mantan Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Cilegon periode 2001-2003 Haryoto AS menyatakan, terdakwa mantan bendahara penerima pada Subdin Hubla Dishub Kota Cilegon Hendrik Ramlen Tambunan tak berhak memegang dana jasa kepelabuhanan (jaspel).
Pasalnya dana itu disetorkan langsung oleh agen kapal dan pengelola pelabuhan khusus ke rekening resmi penampung jaspel di Bank BNI 46 Cabang Merak.
Saksi Haryoto mengungkapkannya dalam sidang kasus dugaan korupsi dana jaspel dengan terdakwa Hendrik Ramlen Tambunan di Pengadilan Negeri (PN) Serang, Rabu (24/6). Sidang dipimpin Masrimal dengan hakim anggota Penta Uli dan Tito Suhud.
Haryoto menyatakan, dirinya tak mengetahui pembuatan dua rekening penampung jaspel di Bank Mandiri atas nama Atan Rahmat dan Suhardi kendati rekening itu dibuat saat Haryoto jadi Kadishub Cilegon pada 2002.
“Saya baru tahu setelah ada pemeriksaan kasus ini oleh Polda Banten,” katanya seraya menambahkan, setiap bulannya ia mengetahui mengenai dana jaspel dari laporan yang dibuat bawahannya. “Saya bahkan tidak tahu satu persatu siapa pengguna jaspel,” tambahnya.
Mantan Kadishub Cilegon periode 2003-2007 Marfi Fahzan juga diminta menjadi saksi. Dia mengatakan senada dengan Haryoto. (dew)
Rabu, 24 Juni 2009
Minggu, 21 Juni 2009
DETIK-DETIK SEBELUM EKSEKUSI IMAM SAMUDERA
Warga Banten Diimbau tidak Berlebihan Sikapi Eksekusi
By Republika Newsroom
Selasa, 04 November 2008
SERANG--Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengimbau warga provinsi itu agar jangan terlalu berlebihan menyikapi rencana eksekusi terpidana bom Bali I, terutama terhadap Imam Samudera yang merupakan warga asli Kota Serang, Banten.
"Janganlah terlalu dibikin berlebihan, sikapi dengan biasa-biasa seperti eksekusi hukuman mati kasus lainnya," kata Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Serang, Selasa.
Ia meminta warga tetap tenang dan tidak terlalu panik menghadapi rencana tersebut, sehingga diharapkan tidak akan menimbulkan dampak atau ekses yang negatif terhadap situasi dan kondisi di Banten. Karena, jika dihantui rasa takut dan tidak pasti, segala aktivitas warga akan terganggu dan menghambat kegiatan lainnya.
Untuk mengantisipasi situasi keamanan dan ketertiban menjelang eksekusi, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Polda Banten dan pihak Kejaksaan Tinggi Banten. Sedangkan jika eksekusi sudah dilakukan, berkaitan dengan prosesi pemakaman jenazah, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kanwil Departemen Agama Provinsi Banten dan pihak keluarga Imam Samudera.
Menurut Ratu Atut, jika eksekusi hukuman mati itu sudah dilaksanakan, ia meminta kepada pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya semoga diberi kesabaran, karena eksekusi itu adalah putusan hukum yang harus dijalankan. Sedangkan bagi mereka yang menjalani hukuman itu, kata Atut, mendoakan semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT.
Sementara itu, puluhan warga melakukan doa bersama dan baca yasin di majlis tak`lim Al-huda yang berlokasi di tengah persawahan sekitar 50 meter dari kampung Begog, Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Mereka melakukan doa bersama dan baca yasin dipimpin oleh ustad Hipni warga kampung tersebut dan diikuti sejumlah pemuda yang memakai kaos seragam hitam bertuliskan Gerakan Reformis Islam (Garis).
Menurut Khalid Mikdar, ketua kordinator sebuah ormas yang berada di Kecamatan Pontang, Serang, bernama Jaringan Islam Underground (Jiun), kegiatan doa bersama yang dilakukan para pemuda dan warga sekitar bertujuan untuk mendoakan Imam Samudera dkk yang akan menghadapi eksekusi, supaya selamat dunia dan akhirat.
"Kami sebagai sesama saudara Muslim, wajib mendoakan supaya mereka selamat dunia dan akhirat," kata Mikdar. ant/pt
By Republika Newsroom
Selasa, 04 November 2008
SERANG--Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengimbau warga provinsi itu agar jangan terlalu berlebihan menyikapi rencana eksekusi terpidana bom Bali I, terutama terhadap Imam Samudera yang merupakan warga asli Kota Serang, Banten.
"Janganlah terlalu dibikin berlebihan, sikapi dengan biasa-biasa seperti eksekusi hukuman mati kasus lainnya," kata Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah di Serang, Selasa.
Ia meminta warga tetap tenang dan tidak terlalu panik menghadapi rencana tersebut, sehingga diharapkan tidak akan menimbulkan dampak atau ekses yang negatif terhadap situasi dan kondisi di Banten. Karena, jika dihantui rasa takut dan tidak pasti, segala aktivitas warga akan terganggu dan menghambat kegiatan lainnya.
Untuk mengantisipasi situasi keamanan dan ketertiban menjelang eksekusi, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Polda Banten dan pihak Kejaksaan Tinggi Banten. Sedangkan jika eksekusi sudah dilakukan, berkaitan dengan prosesi pemakaman jenazah, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kanwil Departemen Agama Provinsi Banten dan pihak keluarga Imam Samudera.
Menurut Ratu Atut, jika eksekusi hukuman mati itu sudah dilaksanakan, ia meminta kepada pihak keluarga dan kerabat yang ditinggalkannya semoga diberi kesabaran, karena eksekusi itu adalah putusan hukum yang harus dijalankan. Sedangkan bagi mereka yang menjalani hukuman itu, kata Atut, mendoakan semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT.
Sementara itu, puluhan warga melakukan doa bersama dan baca yasin di majlis tak`lim Al-huda yang berlokasi di tengah persawahan sekitar 50 meter dari kampung Begog, Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang. Mereka melakukan doa bersama dan baca yasin dipimpin oleh ustad Hipni warga kampung tersebut dan diikuti sejumlah pemuda yang memakai kaos seragam hitam bertuliskan Gerakan Reformis Islam (Garis).
Menurut Khalid Mikdar, ketua kordinator sebuah ormas yang berada di Kecamatan Pontang, Serang, bernama Jaringan Islam Underground (Jiun), kegiatan doa bersama yang dilakukan para pemuda dan warga sekitar bertujuan untuk mendoakan Imam Samudera dkk yang akan menghadapi eksekusi, supaya selamat dunia dan akhirat.
"Kami sebagai sesama saudara Muslim, wajib mendoakan supaya mereka selamat dunia dan akhirat," kata Mikdar. ant/pt
KORUPSI JASPEL, SIAPA RAJA MALINGNYA??
Dua Saksi Jaspel Beratkan Terdakwa
By redaksi Radar Banten
Jumat, 19-Juni-2009, 08:02:52 29 clicks
SERANG – Mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Cilegon Marfi Fahzan tak mengetahui adanya dua rekening penyimpanan dana jasa kepelabuhanan (jaspel) atas nama dua pejabat di Subdin Perhubungan Laut (Hubla) Dishub Kota Cilegon Atan Rahmat dan Suhardi.
Pengakuan itu diutarakan Marfi Fahzan ketika menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi jaspel dengan terdakwa mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Suhardi di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (18/6).
Marfi Fahzan mengatakan, dirinya baru tahu ada dua rekening itu saat penyidik Polda Banten memperlihatkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Setahu saya dana jaspel sesuai dengan surat dari Sekda Kota Cilegon seharusnya ditampung di rekening di bank resmi yang ditunjuk yaitu BNI 46,” katanya seraya menambahkan, rekekning penampung dana jaspel di luar bank yang ditunjuk itu tidak boleh.
Ia juga mengaku, belakangan baru tahu kalau pembuatan rekening penampung jaspel di luar rekening resmi dimaksudkan untuk membiayai kegiatan Subdin Hubla, khususnya penunjang penagihan jaspel dari agen kapal karena saat itu pihak Subdin Hubla belum mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang tugasnya.
Atas temuan dua rekening itu, Marfi mengaku pernah memanggil Kasubdin Hubla Marsongko, Atan, dan Suhardi untuk mengkroscek pembuatan dua rekening penampung jaspel tersebut. Namun Fahzan mengaku tak ingat jawaban ketiganya meskipun telah direkam. “Tapi sayang pak, rekamannya sekarang sudah hilang,” tukas Marfi.
Disoal mengenai dasar hukum penarikan jaspel, Fahzan menerangkan, didasari pada Perda Kota Cilegon Nomor 11/2002. Hal senada dikatakan saksi mantan Kabid Pembiayaan pada Bagian Keuangan Setda Kota Cilegon Septo Kalnadi. Saksi yang sekarang menjadi Kepala Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah itu juga mengaku tak mengetahui dua rekening di luar rekening Bank BNI 46 tersebut. “Yang saya tahu, rekening di BNI saja,” katanya. (dew)
By redaksi Radar Banten
Jumat, 19-Juni-2009, 08:02:52 29 clicks
SERANG – Mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Cilegon Marfi Fahzan tak mengetahui adanya dua rekening penyimpanan dana jasa kepelabuhanan (jaspel) atas nama dua pejabat di Subdin Perhubungan Laut (Hubla) Dishub Kota Cilegon Atan Rahmat dan Suhardi.
Pengakuan itu diutarakan Marfi Fahzan ketika menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi jaspel dengan terdakwa mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Suhardi di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (18/6).
Marfi Fahzan mengatakan, dirinya baru tahu ada dua rekening itu saat penyidik Polda Banten memperlihatkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Setahu saya dana jaspel sesuai dengan surat dari Sekda Kota Cilegon seharusnya ditampung di rekening di bank resmi yang ditunjuk yaitu BNI 46,” katanya seraya menambahkan, rekekning penampung dana jaspel di luar bank yang ditunjuk itu tidak boleh.
Ia juga mengaku, belakangan baru tahu kalau pembuatan rekening penampung jaspel di luar rekening resmi dimaksudkan untuk membiayai kegiatan Subdin Hubla, khususnya penunjang penagihan jaspel dari agen kapal karena saat itu pihak Subdin Hubla belum mempunyai sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang tugasnya.
Atas temuan dua rekening itu, Marfi mengaku pernah memanggil Kasubdin Hubla Marsongko, Atan, dan Suhardi untuk mengkroscek pembuatan dua rekening penampung jaspel tersebut. Namun Fahzan mengaku tak ingat jawaban ketiganya meskipun telah direkam. “Tapi sayang pak, rekamannya sekarang sudah hilang,” tukas Marfi.
Disoal mengenai dasar hukum penarikan jaspel, Fahzan menerangkan, didasari pada Perda Kota Cilegon Nomor 11/2002. Hal senada dikatakan saksi mantan Kabid Pembiayaan pada Bagian Keuangan Setda Kota Cilegon Septo Kalnadi. Saksi yang sekarang menjadi Kepala Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah itu juga mengaku tak mengetahui dua rekening di luar rekening Bank BNI 46 tersebut. “Yang saya tahu, rekening di BNI saja,” katanya. (dew)
AAT KETUA TIM 9 PEMBEBASAN LAHAN KUBANGSARI YANG BERMASALAH, APAKAH DIA TERLIBAT KASUS KORUPSI??
Aat: Lahan Kubangsari Tak Diukur
By redaksi Radar Banten
Jumat, 19-Juni-2009, 08:03:43
SERANG – Pengadaan lahan Kubangsari di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, ternyata tak melalui tahap pengukuran.
Alasannya, panitia pengadaan lahan sudah memiliki data pengukuran tahun 1973, 20 tahun sebelum proyek pembangunan Pelabuhan Kubangsari dicanangkan.
Hal tersebut terungkap saat Walikota Cilegon Tb Aat Syafaat dan mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cilegon menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Kubangsari dengan terdakwa mantan pimpro Kubangsari Ahmad Faeroji di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (18/6). Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Syamsi didampingi hakim anggota Tito Suhud dan Toto Ridarto.
Aat mengakui, kalau dalam proses pembebasan lahan Kubangsari dirinya sebagai ketua panitia pengadaan lahan membentuk tim sukses dan tim khusus yang tujuannya untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan kinerja panitia pengadaan lahan yang terdiri dari berbagai perwakilan dinas maupun BPN.
Namun baik tim sukses maupun tim khusus yang dibentuknya ternyata tak melakukan proses pengukuran lahan dengan alasan keamanan sekaligus mencegah adanya pembengkakan jumlah penggarap. “Kalau diukur takut ada kericuhan, bisa saling bacok-bacokan,” katanya.
Jumlah penggarap 97 orang yang dituding jaksa fiktif, Aat mengaku, tak tahu pasti karena hanya dapat laporan dari tim sukses yang melampirkan surat pengukuran lahan buatan tahun 1973, plus surat pernyataan garapan. (dew)
By redaksi Radar Banten
Jumat, 19-Juni-2009, 08:03:43
SERANG – Pengadaan lahan Kubangsari di Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon, ternyata tak melalui tahap pengukuran.
Alasannya, panitia pengadaan lahan sudah memiliki data pengukuran tahun 1973, 20 tahun sebelum proyek pembangunan Pelabuhan Kubangsari dicanangkan.
Hal tersebut terungkap saat Walikota Cilegon Tb Aat Syafaat dan mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Cilegon menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan korupsi pengadaan lahan Kubangsari dengan terdakwa mantan pimpro Kubangsari Ahmad Faeroji di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (18/6). Sidang itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Syamsi didampingi hakim anggota Tito Suhud dan Toto Ridarto.
Aat mengakui, kalau dalam proses pembebasan lahan Kubangsari dirinya sebagai ketua panitia pengadaan lahan membentuk tim sukses dan tim khusus yang tujuannya untuk mempercepat proses sekaligus meningkatkan kinerja panitia pengadaan lahan yang terdiri dari berbagai perwakilan dinas maupun BPN.
Namun baik tim sukses maupun tim khusus yang dibentuknya ternyata tak melakukan proses pengukuran lahan dengan alasan keamanan sekaligus mencegah adanya pembengkakan jumlah penggarap. “Kalau diukur takut ada kericuhan, bisa saling bacok-bacokan,” katanya.
Jumlah penggarap 97 orang yang dituding jaksa fiktif, Aat mengaku, tak tahu pasti karena hanya dapat laporan dari tim sukses yang melampirkan surat pengukuran lahan buatan tahun 1973, plus surat pernyataan garapan. (dew)
Kamis, 18 Juni 2009
KEJARI MELEMPEM!
Kinerja Kejari Kembali Jadi Sorotan
By redaksi Radar Banten
Kamis, 18-Juni-2009
CILEGON – Kinerja Kejari Cilegon kembali menjadi sorotan. LSM Brigade Pelopor Perubahan (BPP) menuding Kejari tak profesional dalam mengungkapkan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kota Cilegon.
Kritikan ini dilontarkan Ketua BPP Isbatullah Alibasya menyoal seputar pernyataan Kasi Intel Kejari Cilegon Enang Sutardi dalam kasus KUT Kopeda Serang di sejumlah media massa lokal. Isbatullah menilai pernyataan Enang kerap disampaikan ke publik tanpa fakta yang jelas. “Kasi Intel bahkan menyampaikan ke media tak sesuai dengan apa yang ada dalam berita acara pemerikasaan (BAP), itu menunjukkan ketidakprofesionalan Kejari,” tegasnya kepada wartawan, kemarin.
Bahkan, dengan nada miring ia pun mencurigai adanya permainan dalam pengusutan kasus ini. Apalagi, katanya, sejumlah kasus dugaan korupsi di Cilegon seperti kasus dugaan pungli lahan parkir RSUD Cilegon, honorarium ganda Setwan DPRD Cilegon, serta dugaan penyimpangan dana pembinaan Karang Taruna malah tak pernah tuntas.
“Harusnya jika memang Kejari melalui bagian intelijen berniat menuntaskan kasus korupsi di Cilegon, selesaikan semua kasus-kasus itu. Ini membuat saya heran, ada apa ini sebenarnya,” katanya.
Menanggapi tudingan ini, Enang saat ditanyai wartawan enggan beromentar banyak. “Saya sudah lakukan sesuai prosedur, saat ini kasus ini masih dalam tahap pengumpulan data dan keterangan terhadap sejumlah saksi. Kami sendiri belum bisa menyimpulkan apa-apa,” katanya.
Menyoal mandegnya sejumlah kasus dugaan korupsi yang disoal BPP, Enang mengatakan, kasus-kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. “Untuk kasus dugaan pungli lahan parkir RSUD kita tinggal menunggu ekspose Kejati Banten dan kasus lain masih dalam tahap penyelidikan. Setelah itu baru akan ditingkatkan ke penyidikan,” ujarnya.
DUKUNG KEJARI
Pada bagian lain, LSM Forum Bersama Masyarakat Cilegon (FBMC) malah mendukung langkah Kejari Cilegon mengusut tuntas kasus dugaan korupsi KUT Kopeda Serang. Koordinator FBMC Ahmad Sudrajat meminta Kejari tak terprovokasi oleh sejumlah pihak yang sengaja akan membelokan pengusutan kasus ini. “Kami mendukung langkah Kejari mengusut kasus ini. Jangan mudah terprovokasi apalagi terintimidasi oleh kelompok tertentu yang berusaha menggagalkan proses hukum dalam pengusutan kasus ini,” tegasnya.
Bahkan, ia menilai ada sekelompok pihak yang sengaja melakukan sejumlah tekanan agar penyedikan kasus ini dihentikan. “Ada kelompok tertentu yang tengah berusaha menggagalkan pengusutan kasus ini, mereka berdalih sudah ada surat SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara) untuk kasus ini. Padahal itu hanya upaya pengalihan saja agar kasus KUT ini tidak ditindaklanjuti,” katanya. (del/cr-1)
By redaksi Radar Banten
Kamis, 18-Juni-2009
CILEGON – Kinerja Kejari Cilegon kembali menjadi sorotan. LSM Brigade Pelopor Perubahan (BPP) menuding Kejari tak profesional dalam mengungkapkan sejumlah kasus dugaan korupsi di Kota Cilegon.
Kritikan ini dilontarkan Ketua BPP Isbatullah Alibasya menyoal seputar pernyataan Kasi Intel Kejari Cilegon Enang Sutardi dalam kasus KUT Kopeda Serang di sejumlah media massa lokal. Isbatullah menilai pernyataan Enang kerap disampaikan ke publik tanpa fakta yang jelas. “Kasi Intel bahkan menyampaikan ke media tak sesuai dengan apa yang ada dalam berita acara pemerikasaan (BAP), itu menunjukkan ketidakprofesionalan Kejari,” tegasnya kepada wartawan, kemarin.
Bahkan, dengan nada miring ia pun mencurigai adanya permainan dalam pengusutan kasus ini. Apalagi, katanya, sejumlah kasus dugaan korupsi di Cilegon seperti kasus dugaan pungli lahan parkir RSUD Cilegon, honorarium ganda Setwan DPRD Cilegon, serta dugaan penyimpangan dana pembinaan Karang Taruna malah tak pernah tuntas.
“Harusnya jika memang Kejari melalui bagian intelijen berniat menuntaskan kasus korupsi di Cilegon, selesaikan semua kasus-kasus itu. Ini membuat saya heran, ada apa ini sebenarnya,” katanya.
Menanggapi tudingan ini, Enang saat ditanyai wartawan enggan beromentar banyak. “Saya sudah lakukan sesuai prosedur, saat ini kasus ini masih dalam tahap pengumpulan data dan keterangan terhadap sejumlah saksi. Kami sendiri belum bisa menyimpulkan apa-apa,” katanya.
Menyoal mandegnya sejumlah kasus dugaan korupsi yang disoal BPP, Enang mengatakan, kasus-kasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan. “Untuk kasus dugaan pungli lahan parkir RSUD kita tinggal menunggu ekspose Kejati Banten dan kasus lain masih dalam tahap penyelidikan. Setelah itu baru akan ditingkatkan ke penyidikan,” ujarnya.
DUKUNG KEJARI
Pada bagian lain, LSM Forum Bersama Masyarakat Cilegon (FBMC) malah mendukung langkah Kejari Cilegon mengusut tuntas kasus dugaan korupsi KUT Kopeda Serang. Koordinator FBMC Ahmad Sudrajat meminta Kejari tak terprovokasi oleh sejumlah pihak yang sengaja akan membelokan pengusutan kasus ini. “Kami mendukung langkah Kejari mengusut kasus ini. Jangan mudah terprovokasi apalagi terintimidasi oleh kelompok tertentu yang berusaha menggagalkan proses hukum dalam pengusutan kasus ini,” tegasnya.
Bahkan, ia menilai ada sekelompok pihak yang sengaja melakukan sejumlah tekanan agar penyedikan kasus ini dihentikan. “Ada kelompok tertentu yang tengah berusaha menggagalkan pengusutan kasus ini, mereka berdalih sudah ada surat SP3 (Surat Perintah Penghentian Perkara) untuk kasus ini. Padahal itu hanya upaya pengalihan saja agar kasus KUT ini tidak ditindaklanjuti,” katanya. (del/cr-1)
Minggu, 14 Juni 2009
OTONOMI DAERAH, BENCANA BARU BAGI RAKYAT??
KPK Tangkap 23 Kepala Daerah
By redaksi Radar Banten
Senin, 15-Juni-2009
JAKARTA-Selama tiga tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap sedikitnya 23 kepala daerah koruptor. Ada gubernur, walikota, hingga bupati.
Jika uang yang dikorupsi para kepala daerah itu dikumpulkan, jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Sekitar tiga kali jumlah itu bisa digunakan membangun Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia.
Angka Rp 1,6 triliun juga bisa digunakan menyantuni 5,3 juta orang miskin, jika mengacu pada nilai bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300 ribu per orang miskin. Nilai Rp 1,6 triliun kerugian negara tersebut belum termasuk yang ditangani institusi penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian.
Riset oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2008 menunjukkan, 36 kepala daerah diduga bertindak pidana korupsi. Potensi kerugian negara mencapai Rp 442,77 miliar.
Modus yang digunakan para kepala daerah menggerogoti uang negara itu sebenarnya mirip satu sama lain. Yang paling rawan adalah pengadaan barang dan jasa. Modus lain adalah korupsi kebijakan yakni karena menjabat kepala daerah, mereka berwenang memberikan izin-izin tertentu.
“Mayoritas terkait dengan anggaran. Misalnya, menyetujui proyek-proyek tertentu yang dalam pelaksanaannya ada markup (penggelembungan dana)” kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho. Selain itu, ada penerimaan suap atau gratifikasi kepada kepala daerah karena telah memberikan izin tertentu.
Di antara sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK, nilai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jafar merupakan yang paling besar yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Kasus tersebut terkait dengan pemberian izin pengelolaan hutan.
Selain ada penyalahgunaan izin, dalam kasus tersebut ada penerimaan hadiah (gratifikasi). “Jadi, modelnya, selain uang masuk ke kroni, bisa juga berbentuk suap,” ungkap Emerson.
Penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam beberapa kasus justru menunjukkan keterkaitan dengan pemerintah pusat. Hal itu tampak dari kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam kasus tersebut, empat kepala daerah, yakni walikota Medan, walikota Makassar, gubernur Riau, dan gubernur Jawa Barat (semua kini mantan) harus berurusan dengan KPK karena kasus yang berhubungan dengan Departemen Dalam Negeri. (jpnn)
By redaksi Radar Banten
Senin, 15-Juni-2009
JAKARTA-Selama tiga tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap sedikitnya 23 kepala daerah koruptor. Ada gubernur, walikota, hingga bupati.
Jika uang yang dikorupsi para kepala daerah itu dikumpulkan, jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Sekitar tiga kali jumlah itu bisa digunakan membangun Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia.
Angka Rp 1,6 triliun juga bisa digunakan menyantuni 5,3 juta orang miskin, jika mengacu pada nilai bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300 ribu per orang miskin. Nilai Rp 1,6 triliun kerugian negara tersebut belum termasuk yang ditangani institusi penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian.
Riset oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2008 menunjukkan, 36 kepala daerah diduga bertindak pidana korupsi. Potensi kerugian negara mencapai Rp 442,77 miliar.
Modus yang digunakan para kepala daerah menggerogoti uang negara itu sebenarnya mirip satu sama lain. Yang paling rawan adalah pengadaan barang dan jasa. Modus lain adalah korupsi kebijakan yakni karena menjabat kepala daerah, mereka berwenang memberikan izin-izin tertentu.
“Mayoritas terkait dengan anggaran. Misalnya, menyetujui proyek-proyek tertentu yang dalam pelaksanaannya ada markup (penggelembungan dana)” kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho. Selain itu, ada penerimaan suap atau gratifikasi kepada kepala daerah karena telah memberikan izin tertentu.
Di antara sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK, nilai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jafar merupakan yang paling besar yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Kasus tersebut terkait dengan pemberian izin pengelolaan hutan.
Selain ada penyalahgunaan izin, dalam kasus tersebut ada penerimaan hadiah (gratifikasi). “Jadi, modelnya, selain uang masuk ke kroni, bisa juga berbentuk suap,” ungkap Emerson.
Penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam beberapa kasus justru menunjukkan keterkaitan dengan pemerintah pusat. Hal itu tampak dari kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam kasus tersebut, empat kepala daerah, yakni walikota Medan, walikota Makassar, gubernur Riau, dan gubernur Jawa Barat (semua kini mantan) harus berurusan dengan KPK karena kasus yang berhubungan dengan Departemen Dalam Negeri. (jpnn)
OTONOMI DAERAH, BENCANA BARU BAGI RAKYAT??
KPK Tangkap 23 Kepala Daerah
By redaksi Radar Banten
Senin, 15-Juni-2009
JAKARTA-Selama tiga tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap sedikitnya 23 kepala daerah koruptor. Ada gubernur, walikota, hingga bupati.
Jika uang yang dikorupsi para kepala daerah itu dikumpulkan, jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Sekitar tiga kali jumlah itu bisa digunakan membangun Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia.
Angka Rp 1,6 triliun juga bisa digunakan menyantuni 5,3 juta orang miskin, jika mengacu pada nilai bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300 ribu per orang miskin. Nilai Rp 1,6 triliun kerugian negara tersebut belum termasuk yang ditangani institusi penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian.
Riset oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2008 menunjukkan, 36 kepala daerah diduga bertindak pidana korupsi. Potensi kerugian negara mencapai Rp 442,77 miliar.
Modus yang digunakan para kepala daerah menggerogoti uang negara itu sebenarnya mirip satu sama lain. Yang paling rawan adalah pengadaan barang dan jasa. Modus lain adalah korupsi kebijakan yakni karena menjabat kepala daerah, mereka berwenang memberikan izin-izin tertentu.
“Mayoritas terkait dengan anggaran. Misalnya, menyetujui proyek-proyek tertentu yang dalam pelaksanaannya ada markup (penggelembungan dana)” kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho. Selain itu, ada penerimaan suap atau gratifikasi kepada kepala daerah karena telah memberikan izin tertentu.
Di antara sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK, nilai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jafar merupakan yang paling besar yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Kasus tersebut terkait dengan pemberian izin pengelolaan hutan.
Selain ada penyalahgunaan izin, dalam kasus tersebut ada penerimaan hadiah (gratifikasi). “Jadi, modelnya, selain uang masuk ke kroni, bisa juga berbentuk suap,” ungkap Emerson.
Penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam beberapa kasus justru menunjukkan keterkaitan dengan pemerintah pusat. Hal itu tampak dari kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam kasus tersebut, empat kepala daerah, yakni walikota Medan, walikota Makassar, gubernur Riau, dan gubernur Jawa Barat (semua kini mantan) harus berurusan dengan KPK karena kasus yang berhubungan dengan Departemen Dalam Negeri. (jpnn)
By redaksi Radar Banten
Senin, 15-Juni-2009
JAKARTA-Selama tiga tahun terakhir ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap sedikitnya 23 kepala daerah koruptor. Ada gubernur, walikota, hingga bupati.
Jika uang yang dikorupsi para kepala daerah itu dikumpulkan, jumlahnya mencapai Rp 1,6 triliun. Sebuah angka yang tidak sedikit. Sekitar tiga kali jumlah itu bisa digunakan membangun Suramadu, jembatan terpanjang di Indonesia.
Angka Rp 1,6 triliun juga bisa digunakan menyantuni 5,3 juta orang miskin, jika mengacu pada nilai bantuan langsung tunai (BLT) Rp 300 ribu per orang miskin. Nilai Rp 1,6 triliun kerugian negara tersebut belum termasuk yang ditangani institusi penegak hukum lain, kejaksaan dan kepolisian.
Riset oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) selama 2008 menunjukkan, 36 kepala daerah diduga bertindak pidana korupsi. Potensi kerugian negara mencapai Rp 442,77 miliar.
Modus yang digunakan para kepala daerah menggerogoti uang negara itu sebenarnya mirip satu sama lain. Yang paling rawan adalah pengadaan barang dan jasa. Modus lain adalah korupsi kebijakan yakni karena menjabat kepala daerah, mereka berwenang memberikan izin-izin tertentu.
“Mayoritas terkait dengan anggaran. Misalnya, menyetujui proyek-proyek tertentu yang dalam pelaksanaannya ada markup (penggelembungan dana)” kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho. Selain itu, ada penerimaan suap atau gratifikasi kepada kepala daerah karena telah memberikan izin tertentu.
Di antara sejumlah kepala daerah yang ditangkap KPK, nilai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Pelalawan, Riau, Tengku Azmun Jafar merupakan yang paling besar yakni mencapai Rp 1,2 triliun. Kasus tersebut terkait dengan pemberian izin pengelolaan hutan.
Selain ada penyalahgunaan izin, dalam kasus tersebut ada penerimaan hadiah (gratifikasi). “Jadi, modelnya, selain uang masuk ke kroni, bisa juga berbentuk suap,” ungkap Emerson.
Penyalahgunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam beberapa kasus justru menunjukkan keterkaitan dengan pemerintah pusat. Hal itu tampak dari kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran. Dalam kasus tersebut, empat kepala daerah, yakni walikota Medan, walikota Makassar, gubernur Riau, dan gubernur Jawa Barat (semua kini mantan) harus berurusan dengan KPK karena kasus yang berhubungan dengan Departemen Dalam Negeri. (jpnn)
Sabtu, 13 Juni 2009
Ayo Siapa Lagi Yang Mau Ngaku "Nerima" Uang Haram?? Walkot Mo ngaku Ga Ya??
Sanwani Ngaku Dapat Uang Jasa
By redaksi Radar Banten
Jumat, 12-Juni-2009, 07:42:00 92 clicks
SERANG – Anggota DPRD Kota Serang asal Partai Golkar Sanwani yang juga menjabat sebagai sekretaris tim sukses pembebasan lahan Kubangsari mengaku, mendapatkan uang jasa dari terdakwa pimpinan proyek (Pimpro) Kubangsari Ahmad Faeroji.
Dia juga menerima uang jasa lainnya dari 97 penggarap karena ia adalah koordinator penggarap Kubangsari.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Kubangsari dengan terdakwa Pimpro Ahmad Faeroji di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (11/6), yang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Syamsi didampingi Tito Suhud dan Toto Ridarto.
Diceritakan Sanwani, sebagai tim sukses pembebasan lahan Kubangsari ia memperoleh jatah uang jasa Rp 305 juta tunai dari terdakwa. Dari uang itu ia kebagian Rp 60 juta. Sanwani juga mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan karena ia mengaku sejak 10 tahun sebelum ada pembebasan lahan ia sudah berkebun kacang di sana kendati rumahnya berada di Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang.
“Saya juga dapat 50 persen dari uang ganti rugi yang diterima oleh 97 penggarap, karena mereka menunjuk saya sebagai koordinatornya,” terang Sanwani.
Sebagai tim sukses, Sanwani mengaku telah melakukan survei bahkan memasang patok-patok di lahan yang kata Sanwani saat itu berupa kebun-kebun singkong dan kelapa. Dasar pembayaran terhadap 97 penggarap itu, lanjutnya, hanya berpegang pada surat pernyataan garapan yang dikeluarkan oleh Lurah Kubangsari.
Karenanya, saat diminta menunjukkan lokasi lahan di peta, menyebutkan nama penggarap lahan di sebelah lahan yang ia garap, dan diminta menunjukkan bukti pendukung survei tanah seperti foto, Sanwani gelagapan.
Hakim Syamsi menilai, Sanwani asal bunyi karena dari data-data perkara yang didapatkan majelis hakim lahan itu hanya lahan kosong berkarang. “Lihat itu di foto, cuma semak belukar aja, nggak ada pohon singkong apalagi pohon kelapa, saudara makanya jangan asal bunyi saja, karena kalau dasar ganti ruginya surat pernyataan garapan, maka mudah dibuat karena itu kan surat pernyataan pribadi,” katanya.
Ahmad Faeroji membantah pemberian uang kepada Sanwani. “Coba yang benar, yang berikan saya atau bendahara,” katanya. (dew)
By redaksi Radar Banten
Jumat, 12-Juni-2009, 07:42:00 92 clicks
SERANG – Anggota DPRD Kota Serang asal Partai Golkar Sanwani yang juga menjabat sebagai sekretaris tim sukses pembebasan lahan Kubangsari mengaku, mendapatkan uang jasa dari terdakwa pimpinan proyek (Pimpro) Kubangsari Ahmad Faeroji.
Dia juga menerima uang jasa lainnya dari 97 penggarap karena ia adalah koordinator penggarap Kubangsari.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi pembebasan lahan Kubangsari dengan terdakwa Pimpro Ahmad Faeroji di Pengadilan Negeri Serang, Kamis (11/6), yang dipimpin oleh majelis hakim yang diketuai Syamsi didampingi Tito Suhud dan Toto Ridarto.
Diceritakan Sanwani, sebagai tim sukses pembebasan lahan Kubangsari ia memperoleh jatah uang jasa Rp 305 juta tunai dari terdakwa. Dari uang itu ia kebagian Rp 60 juta. Sanwani juga mendapatkan ganti rugi pembebasan lahan karena ia mengaku sejak 10 tahun sebelum ada pembebasan lahan ia sudah berkebun kacang di sana kendati rumahnya berada di Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang.
“Saya juga dapat 50 persen dari uang ganti rugi yang diterima oleh 97 penggarap, karena mereka menunjuk saya sebagai koordinatornya,” terang Sanwani.
Sebagai tim sukses, Sanwani mengaku telah melakukan survei bahkan memasang patok-patok di lahan yang kata Sanwani saat itu berupa kebun-kebun singkong dan kelapa. Dasar pembayaran terhadap 97 penggarap itu, lanjutnya, hanya berpegang pada surat pernyataan garapan yang dikeluarkan oleh Lurah Kubangsari.
Karenanya, saat diminta menunjukkan lokasi lahan di peta, menyebutkan nama penggarap lahan di sebelah lahan yang ia garap, dan diminta menunjukkan bukti pendukung survei tanah seperti foto, Sanwani gelagapan.
Hakim Syamsi menilai, Sanwani asal bunyi karena dari data-data perkara yang didapatkan majelis hakim lahan itu hanya lahan kosong berkarang. “Lihat itu di foto, cuma semak belukar aja, nggak ada pohon singkong apalagi pohon kelapa, saudara makanya jangan asal bunyi saja, karena kalau dasar ganti ruginya surat pernyataan garapan, maka mudah dibuat karena itu kan surat pernyataan pribadi,” katanya.
Ahmad Faeroji membantah pemberian uang kepada Sanwani. “Coba yang benar, yang berikan saya atau bendahara,” katanya. (dew)
Kasus Korupsi Jaspel Cilegon, "Biang"-nya ko ga ditangkap??
Dobel Rekening Diketahui Terdakwa Marsongko
By redaksi Radar Banten
Sabtu, 13-Juni-2009
SERANG – Pembuatan dua rekening di Bank Mandiri dan BNI 46 Cilegon untuk menampung dana jasa kepelabuhanan (jaspel) sebelum disetorkan ke kas daerah Kota Cilegon ternyata sepengetahuan terdakwa Marsongko Miftah Fatihin.
Saat itu Marsongko menjabat Kepala Sub-Dinas (Subdin) Hubungan Laut (Hubla) Dinas Perhubungan Kota Cilegon. Pasalnya, dana itu dipakai untuk keperluan operasional Subdin Hubla sekaligus memenuhi target pencapaian pendapatan asli daerah (PAD) yang dibebankan ke Subdin Hubla.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi jaspel dengan terdakwa mantan Kasubdin Hubla Kota Cilegon Marsongko Miftah Fatihin dan mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Kota Cilegon Suhardi, Kamis (11/6).
Dalam dua sidang terpisah itu hadir 3 saksi, yaitu mantan Kasi Gamat Subdin Hubla Atan Rahmat, mantan Bendaharawan Subdin Hubla Hendrik Ramlen Tambunan, dan mantan Bendaharawan Subdin Hubla Dani Karna.
Atan Rahmat yang juga terdakwa dalam kasus tersebut mengakui adanya rekening di luar rekening resmi di BNI 46 untuk menampung jaspel. Kata dia, rekening di Bank Mandiri itu atasnama dirinya. Ia juga mengakui kalau ada rekening di Bank Mandiri lainnya atasnama Suhardi. Kedua rekening itu dibuat sekira tahun 2002.
“Tujuan pembuatan rekenig itu untuk operasional Hubla, karena pekerjaan kami kan berat dan butuh dedikasi tinggi. Selain itu ada target pencapaian PAD sesuai dengan amanat Pak Walikota,” katanya.
Dana jaspel yang masuk ke rekening atas namanya, lanjut Atan, diambil dari dana labuh dan dana tambat yang dipungut dari 11 agen perkapalan yang beroperasi di Kota Cilegon.
Atan mengaku, keberadaan dua rekening di Bank Mandiri itu diketahui terdakwa mantan Kasubdin Hubla Marsongko.
Kesaksian itu diperkuat mantan Bendaharawan Subdin Hubla Dani Karna dalam sidang terpisah dengan terdakwa mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Kota Cilegon Suhardi. Kata Dani, semula ia hanya menjabat sebagai staf penagih jaspel sebelum menjadi bendaharawan. Namun setelah diangkat menjadi bendaharawan, ia diajari oleh bendahara sebelumnya yaitu Feri Arif Rianto untuk membuat tagihan (invoice) ganda dimana tagihan yang dilaporkan adalah tagihan yang nilainya lebih kecil sehingga dana jaspel yang harus disetorkan ke kas daerah nilainya juga kecil. (dew)
By redaksi Radar Banten
Sabtu, 13-Juni-2009
SERANG – Pembuatan dua rekening di Bank Mandiri dan BNI 46 Cilegon untuk menampung dana jasa kepelabuhanan (jaspel) sebelum disetorkan ke kas daerah Kota Cilegon ternyata sepengetahuan terdakwa Marsongko Miftah Fatihin.
Saat itu Marsongko menjabat Kepala Sub-Dinas (Subdin) Hubungan Laut (Hubla) Dinas Perhubungan Kota Cilegon. Pasalnya, dana itu dipakai untuk keperluan operasional Subdin Hubla sekaligus memenuhi target pencapaian pendapatan asli daerah (PAD) yang dibebankan ke Subdin Hubla.
Hal tersebut terungkap dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi jaspel dengan terdakwa mantan Kasubdin Hubla Kota Cilegon Marsongko Miftah Fatihin dan mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Kota Cilegon Suhardi, Kamis (11/6).
Dalam dua sidang terpisah itu hadir 3 saksi, yaitu mantan Kasi Gamat Subdin Hubla Atan Rahmat, mantan Bendaharawan Subdin Hubla Hendrik Ramlen Tambunan, dan mantan Bendaharawan Subdin Hubla Dani Karna.
Atan Rahmat yang juga terdakwa dalam kasus tersebut mengakui adanya rekening di luar rekening resmi di BNI 46 untuk menampung jaspel. Kata dia, rekening di Bank Mandiri itu atasnama dirinya. Ia juga mengakui kalau ada rekening di Bank Mandiri lainnya atasnama Suhardi. Kedua rekening itu dibuat sekira tahun 2002.
“Tujuan pembuatan rekenig itu untuk operasional Hubla, karena pekerjaan kami kan berat dan butuh dedikasi tinggi. Selain itu ada target pencapaian PAD sesuai dengan amanat Pak Walikota,” katanya.
Dana jaspel yang masuk ke rekening atas namanya, lanjut Atan, diambil dari dana labuh dan dana tambat yang dipungut dari 11 agen perkapalan yang beroperasi di Kota Cilegon.
Atan mengaku, keberadaan dua rekening di Bank Mandiri itu diketahui terdakwa mantan Kasubdin Hubla Marsongko.
Kesaksian itu diperkuat mantan Bendaharawan Subdin Hubla Dani Karna dalam sidang terpisah dengan terdakwa mantan Kasi Angkutan Laut dan Kepelabuhanan Subdin Hubla Kota Cilegon Suhardi. Kata Dani, semula ia hanya menjabat sebagai staf penagih jaspel sebelum menjadi bendaharawan. Namun setelah diangkat menjadi bendaharawan, ia diajari oleh bendahara sebelumnya yaitu Feri Arif Rianto untuk membuat tagihan (invoice) ganda dimana tagihan yang dilaporkan adalah tagihan yang nilainya lebih kecil sehingga dana jaspel yang harus disetorkan ke kas daerah nilainya juga kecil. (dew)
Laporan BPK ttg Kota Cilegon, Amati, laporkan!
Lima Tahun, 178 Temuan
By redaksi Radar Banten
Jumat, 12-Juni-2009, 08:03:17
Hasil Audit BPK di Pemkot Cilegon
CILEGON - Selama tahun anggaran Tahun 2003 hingga 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapati 178 temuan dengan 386 rekomendasi dalam audit keuangan Pemkot Cilegon. Jumlah temuan tersebut senilai Rp 454,80 miliar. Dari total temuan tersebut, terdiri atas temuan yang mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp 9,30 miliar, temuan kekurangan penerimaan sebesar Rp 32,84 miliar, dan temuan administrasi sebesar Rp 412,66 miliar. Dan dari temuan tersebut, 114 rekomendasi telah ditindaklanjuti dengan nilai nominal Rp 138 miliar. Sedangkan 272 rekomendasi lainnya dengan nilai nominal Rp 316,45 miliar belum ditindaklanjuti. Demikian diungkapkan Plt Kepala BPK RI Provinsi Banten Slamet Kurniawan dalam jumpa persnya di ruang rapat DPRD Cilegon, Kamis (11/6). Slamet yang didampingi Walikota Cilegon Tb Aat Syafa’at dan Ketua DPRD Cilegon Fathullah Syam’un menegaskan, untuk tahun anggaran 2008 saja, hasil pemeriksaan atas pengendalian intern terdapat lima temuan dan hasil pemeriksaan atas kepatuhan sebanyak 16 temuan. “Temuan itu terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp 75,58 juta dan temuan administrasi sebesar Rp 22,68 miliar,” katanya seraya menyatakan bahwa hasil audit BPK atas keuangan Pemkot Cilegon termasuk kategori wajar dengan pengecualian. Diterangkannya, beberapa temuan yang belum ditindaklanjuti akan terus dipantau BPK. Dimana, pemantauan itu dilakukan untuk melihat sejauhmana rekomendasi yang dikeluarkan BPK telah dilaksanakan. “Dan pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajibannya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut dapat dikenakan sanksi,” tegasnya. Saat ditanya seputar kasus honorarium ganda di Sekwan DPRD Cilegon pada tahun anggaran 2004 yang dinyatakan Kejari memiliki indikasi kerugian negara, Slamet mengatakan, kalau memang pihak kejaksaan bisa membuktikan sejumlah unsur yang bisa menjerat terjadinya tindak pidana korupsi tidak masalah. “Karena indikasi tipikor itu jika memenuhi empat unsur, yakni pelanggaran hukum, pelanggaran orang, kerugian daerah, serta memperkaya diri sendiri. Jika dua dari empat unsur ini minimal terbukti, maka pihak kejaksaan berhak saja untuk meneruskan kasusnya walaupun anggarannya sudah dikembalikan para anggota dewan. (cr-1/fal)
By redaksi Radar Banten
Jumat, 12-Juni-2009, 08:03:17
Hasil Audit BPK di Pemkot Cilegon
CILEGON - Selama tahun anggaran Tahun 2003 hingga 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapati 178 temuan dengan 386 rekomendasi dalam audit keuangan Pemkot Cilegon. Jumlah temuan tersebut senilai Rp 454,80 miliar. Dari total temuan tersebut, terdiri atas temuan yang mengakibatkan kerugian daerah sebesar Rp 9,30 miliar, temuan kekurangan penerimaan sebesar Rp 32,84 miliar, dan temuan administrasi sebesar Rp 412,66 miliar. Dan dari temuan tersebut, 114 rekomendasi telah ditindaklanjuti dengan nilai nominal Rp 138 miliar. Sedangkan 272 rekomendasi lainnya dengan nilai nominal Rp 316,45 miliar belum ditindaklanjuti. Demikian diungkapkan Plt Kepala BPK RI Provinsi Banten Slamet Kurniawan dalam jumpa persnya di ruang rapat DPRD Cilegon, Kamis (11/6). Slamet yang didampingi Walikota Cilegon Tb Aat Syafa’at dan Ketua DPRD Cilegon Fathullah Syam’un menegaskan, untuk tahun anggaran 2008 saja, hasil pemeriksaan atas pengendalian intern terdapat lima temuan dan hasil pemeriksaan atas kepatuhan sebanyak 16 temuan. “Temuan itu terdiri atas temuan yang berindikasi kerugian daerah sebesar Rp 75,58 juta dan temuan administrasi sebesar Rp 22,68 miliar,” katanya seraya menyatakan bahwa hasil audit BPK atas keuangan Pemkot Cilegon termasuk kategori wajar dengan pengecualian. Diterangkannya, beberapa temuan yang belum ditindaklanjuti akan terus dipantau BPK. Dimana, pemantauan itu dilakukan untuk melihat sejauhmana rekomendasi yang dikeluarkan BPK telah dilaksanakan. “Dan pejabat yang diketahui tidak melaksanakan kewajibannya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK tersebut dapat dikenakan sanksi,” tegasnya. Saat ditanya seputar kasus honorarium ganda di Sekwan DPRD Cilegon pada tahun anggaran 2004 yang dinyatakan Kejari memiliki indikasi kerugian negara, Slamet mengatakan, kalau memang pihak kejaksaan bisa membuktikan sejumlah unsur yang bisa menjerat terjadinya tindak pidana korupsi tidak masalah. “Karena indikasi tipikor itu jika memenuhi empat unsur, yakni pelanggaran hukum, pelanggaran orang, kerugian daerah, serta memperkaya diri sendiri. Jika dua dari empat unsur ini minimal terbukti, maka pihak kejaksaan berhak saja untuk meneruskan kasusnya walaupun anggarannya sudah dikembalikan para anggota dewan. (cr-1/fal)
Kamis, 04 Juni 2009
AAT DAN PASUKANNYA GENTAR MENGHADAPI KOALISI PERUBAHAN
Draf Koalisi Bocor
By redaksi Radar Banten
Kamis, 04-Juni-2009, 08:07:03 197
Jelang Pilkada 2010
Kursi Ketua Dewan dan Jabatan Eselon II Jadi Incaran
CILEGON – Meski pilkada Cilegon baru akan digelar setahun lagi, namun sejumlah parpol mulai pasang kuda-kuda. Beberapa di antara mereka malah telah menggelar sejumlah pertemuan intens guna membangun koalisi menjelang pilkada. Bahkan enam parpol di Cilegon, yakni PDI-P, PPP, Partai Demokrat, PKS, PBB, dan PKB tengah menggagas sebuah koalisi guna menghadapi pilkada mendatang. Koalisi tersebut mereka namakan “Koalisi Parpol Untuk Perubahan”. Rencananya, format koalisi ini akan mereka bangun di tingkat legislatif dalam rangka pemilihan Ketua DPRD. Dimana disepakati calon dari PKS akan dimajukan untuk pemilihan nanti. Sedang lima parpol lain akan mengisi sejumlah jabatan lain, mulai dari ketua komisi yang diberlakukan secara bergilir sesuai periodik, serta posisi lain seperti Ketua Dewan Kehormatan. Baru-baru ini sebuah draf kesepakatan koalisi enam partai itu pun bocor di kalangan para pejabat di lingkungan Pemkot Cilegon. Pasalnya, draf kesepatakan koalisi yang terdiri enam halaman tersebut tak hanya merumuskan mekanisme di tingkat koalisi dalam pencalonan Walikota dan Wakil Walikota saja. Melainkan, jabatan-jabatan eselon II yang ada di lingkungan pemkot juga diformulasikan dalam konsep koalisi tersebut. Teknisnya, setiap parpol peserta koalisi mendapat jatah untuk merekomendasikan seorang pejabat untuk menduduki pos eselon II yang ada. Tak hanya pejabat eselon II setingkat kepala dinas dan badan saja, tetapi juga jabatan Sekda dan kepala BUMD. Dalam draf koalisi yang memuat enam ketua parpol di Cilegon, PDIP, PPP, dan Partai Demokrat disepakati akan mengusung calon Walikota. Sedang PBB dan PKB mengusung calon wakil Walikota. Untuk jabatan Sekda sendiri dalam draf koalisi tersebut disepakati direkomendasikan oleh PKS.
Untuk jabatan eselon II, enam parpol peserta koalisi juga memiliki hak untuk merekomendasikan pejabat yang akan mereka majukan. Misalnya, PDIP mendapat jatah merekomendasikan Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas Sosial, Kepala Bawasda, dan Kesbang Linmas. PPP untuk posisi Asda I, Disnaker, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat. PKS untuk posisi Kepala Dinas Pendidikan, Disperindag, BPKD, dan Direktur BPRS Mandiri.
Partai Demokrat sendiri mendapat jatah posisi Kepala Bapedda, Badan Lingkungan Hidup, Dinkoptan, dan Disbudpar. Untuk PKB, Asda II, Kepala Dinkes, Dinas Kependudukan, dan Dirut RSUD. Sedang PBB mendapat jatah, Asda III, Dishub, Dinas Kebersihan, dan Dirut PD.PCM. Sejumlah pejabat pun menanggapi draf koalisi ini dengan beragam. “Saya juga terima, jabatan di pemkot sekarang sudah kayak menteri saja,” ujar salah seorang pejabat eselon III di lingkungan Pemkot Cilegon yang enggan disebutkan namanya. Bahkan, Sekda Cilegon Edi Ariadi kemarin sempat menggelar konferensi pers menyikapi draf koalisi parpol tersebut. “Ini sudah sangat tidak masuk akal, karena jabatan struktural PNS diatur sejumlah peraturan pemerintah, salah satunya dari PP 100/2000 tentang pengangkatan PNS di jabatan struktural. Dan di dalamnya juga diatur tentang peran Baperjakat,” katanya. Bahkan ia menilai, jika hal ini diberlakukan, maka jelas menyeret para pejabat dan PNS menjadi tidak netral dalam pelaksanaan pilkada nanti. “Bukan itu saja, koordinasi antar dinas dan instansi pun akan ngawur jadinya, karena semua SKPD untuk membuat kebijakan harus lapor dulu ama partai yang merekomendasikannya,” ungkapnya.
HANYA WACANA
Sementara itu, sejumlah pimpinan parpol dari koalisi untuk perubahan tersebut ketika dikonfirmasi mengatakan konsep dalam draf tersebut baru pada tataran wacana saja. “Itu baru wacana dari hasil ngobrol-ngobrol saja, dan belum ada pembicaraan final untuk menyepakati itu,” kata Ketua DPC Partai Demokrat Cilegon ketika dihubungi, kemarin. Diakuinya, para pimpinan enam parpol tersebut awalnya memang menyepakati format koalisi tersebut. Namun, hal ini belum final lantaran masih akan ada pertemuan lanjuatan. “Itu belum final, masih harus dibicarakan lagi,” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan Ketua DPD PKS Cilegon Suminto. “Itu baru wacana saja untuk perubahan Cilegon ke depan. Nggak perlu pejabat yang sekarang takut, parpol nanti hanya merekomendasikan saja sifatnya ke Baperjakat. Nanti Baperjakat yang meneliti persyaratan administrasinya untuk jabatan eselon II. Lagipula sebelumnya ini akan kita bicarakan dulu dengan calon Walikota-nya,” katanya.
Menyoal beredarnya draf koalisi tersebut hingga di kalangan pejabat, Suminto mengatakan hal tersebut karena adanya pihak yang sengaja membocorkannya. “Yang pasti ada yang membocorkannya, tapi nggak ada masalah, itu kan baru wacana. Para pejabat di pemkot juga nggak perlu khawatir, urus saja kerjaan mereka saat ini,” ujarnya. Pernyataan serupa juga diungkapkan Ketua DPC PBB Cilegon Bustomik. “Saya memang pernah diajak ngobrol masalah itu, tapi itu belum menjadi kesepakatan karena ada mekanisme partai di kami yang harus ditempuh,” ujarnya. (del)
By redaksi Radar Banten
Kamis, 04-Juni-2009, 08:07:03 197
Jelang Pilkada 2010
Kursi Ketua Dewan dan Jabatan Eselon II Jadi Incaran
CILEGON – Meski pilkada Cilegon baru akan digelar setahun lagi, namun sejumlah parpol mulai pasang kuda-kuda. Beberapa di antara mereka malah telah menggelar sejumlah pertemuan intens guna membangun koalisi menjelang pilkada. Bahkan enam parpol di Cilegon, yakni PDI-P, PPP, Partai Demokrat, PKS, PBB, dan PKB tengah menggagas sebuah koalisi guna menghadapi pilkada mendatang. Koalisi tersebut mereka namakan “Koalisi Parpol Untuk Perubahan”. Rencananya, format koalisi ini akan mereka bangun di tingkat legislatif dalam rangka pemilihan Ketua DPRD. Dimana disepakati calon dari PKS akan dimajukan untuk pemilihan nanti. Sedang lima parpol lain akan mengisi sejumlah jabatan lain, mulai dari ketua komisi yang diberlakukan secara bergilir sesuai periodik, serta posisi lain seperti Ketua Dewan Kehormatan. Baru-baru ini sebuah draf kesepakatan koalisi enam partai itu pun bocor di kalangan para pejabat di lingkungan Pemkot Cilegon. Pasalnya, draf kesepatakan koalisi yang terdiri enam halaman tersebut tak hanya merumuskan mekanisme di tingkat koalisi dalam pencalonan Walikota dan Wakil Walikota saja. Melainkan, jabatan-jabatan eselon II yang ada di lingkungan pemkot juga diformulasikan dalam konsep koalisi tersebut. Teknisnya, setiap parpol peserta koalisi mendapat jatah untuk merekomendasikan seorang pejabat untuk menduduki pos eselon II yang ada. Tak hanya pejabat eselon II setingkat kepala dinas dan badan saja, tetapi juga jabatan Sekda dan kepala BUMD. Dalam draf koalisi yang memuat enam ketua parpol di Cilegon, PDIP, PPP, dan Partai Demokrat disepakati akan mengusung calon Walikota. Sedang PBB dan PKB mengusung calon wakil Walikota. Untuk jabatan Sekda sendiri dalam draf koalisi tersebut disepakati direkomendasikan oleh PKS.
Untuk jabatan eselon II, enam parpol peserta koalisi juga memiliki hak untuk merekomendasikan pejabat yang akan mereka majukan. Misalnya, PDIP mendapat jatah merekomendasikan Kepala Dinas PU dan Kepala Dinas Sosial, Kepala Bawasda, dan Kesbang Linmas. PPP untuk posisi Asda I, Disnaker, dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat. PKS untuk posisi Kepala Dinas Pendidikan, Disperindag, BPKD, dan Direktur BPRS Mandiri.
Partai Demokrat sendiri mendapat jatah posisi Kepala Bapedda, Badan Lingkungan Hidup, Dinkoptan, dan Disbudpar. Untuk PKB, Asda II, Kepala Dinkes, Dinas Kependudukan, dan Dirut RSUD. Sedang PBB mendapat jatah, Asda III, Dishub, Dinas Kebersihan, dan Dirut PD.PCM. Sejumlah pejabat pun menanggapi draf koalisi ini dengan beragam. “Saya juga terima, jabatan di pemkot sekarang sudah kayak menteri saja,” ujar salah seorang pejabat eselon III di lingkungan Pemkot Cilegon yang enggan disebutkan namanya. Bahkan, Sekda Cilegon Edi Ariadi kemarin sempat menggelar konferensi pers menyikapi draf koalisi parpol tersebut. “Ini sudah sangat tidak masuk akal, karena jabatan struktural PNS diatur sejumlah peraturan pemerintah, salah satunya dari PP 100/2000 tentang pengangkatan PNS di jabatan struktural. Dan di dalamnya juga diatur tentang peran Baperjakat,” katanya. Bahkan ia menilai, jika hal ini diberlakukan, maka jelas menyeret para pejabat dan PNS menjadi tidak netral dalam pelaksanaan pilkada nanti. “Bukan itu saja, koordinasi antar dinas dan instansi pun akan ngawur jadinya, karena semua SKPD untuk membuat kebijakan harus lapor dulu ama partai yang merekomendasikannya,” ungkapnya.
HANYA WACANA
Sementara itu, sejumlah pimpinan parpol dari koalisi untuk perubahan tersebut ketika dikonfirmasi mengatakan konsep dalam draf tersebut baru pada tataran wacana saja. “Itu baru wacana dari hasil ngobrol-ngobrol saja, dan belum ada pembicaraan final untuk menyepakati itu,” kata Ketua DPC Partai Demokrat Cilegon ketika dihubungi, kemarin. Diakuinya, para pimpinan enam parpol tersebut awalnya memang menyepakati format koalisi tersebut. Namun, hal ini belum final lantaran masih akan ada pertemuan lanjuatan. “Itu belum final, masih harus dibicarakan lagi,” ujarnya. Hal yang sama juga diungkapkan Ketua DPD PKS Cilegon Suminto. “Itu baru wacana saja untuk perubahan Cilegon ke depan. Nggak perlu pejabat yang sekarang takut, parpol nanti hanya merekomendasikan saja sifatnya ke Baperjakat. Nanti Baperjakat yang meneliti persyaratan administrasinya untuk jabatan eselon II. Lagipula sebelumnya ini akan kita bicarakan dulu dengan calon Walikota-nya,” katanya.
Menyoal beredarnya draf koalisi tersebut hingga di kalangan pejabat, Suminto mengatakan hal tersebut karena adanya pihak yang sengaja membocorkannya. “Yang pasti ada yang membocorkannya, tapi nggak ada masalah, itu kan baru wacana. Para pejabat di pemkot juga nggak perlu khawatir, urus saja kerjaan mereka saat ini,” ujarnya. Pernyataan serupa juga diungkapkan Ketua DPC PBB Cilegon Bustomik. “Saya memang pernah diajak ngobrol masalah itu, tapi itu belum menjadi kesepakatan karena ada mekanisme partai di kami yang harus ditempuh,” ujarnya. (del)
Senin, 01 Juni 2009
Surat Terbuka untuk Sahabatku Iman Ariadi
(A Tribute for Widji Thukul)
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
(Peringatan, Widji Thukul 1987)
MENGENANG SOSOK WIDJI THUKUL
Sewaktu masih kuliah di ITB saya mulai mengenal sajak-sajak pembebasan Widji Thukul, buku kumpulan puisi Widji Thukul yang pertama saya baca adalah Aku Ingin jadi Peluru (2000), berdebar hati ini membaca jeritan dan perlawanan sang penyair miskin asal solo itu, seakan-akan kata-kata itu hidup dan berteriak lantang di alam nuraniku. Sekitar tahun 2004 aku juga sempat bertemu dengan Mba Sipon, istri Widji Thukul di Bandung dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Kontras. Mba Sipon kini bergabung bersama LSM Pro Demokrasi yang sibuk mengkampanyekan gerakan moril melawan kekerasan Negara. Rupanya semangat Widji menginspirasi Mba Sipon untuk berjuang menegakkan kemanusiaan.
Sajak-sajak Widji lahir dari kegelisahan dan himpitan hidup yang dialami langsung oleh sang penyair, rumah Widji berlantai tanah, di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk, sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan, kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar tanpa kran air ledeng. Terkadang Widji mengamen puisi sekedar mencari receh, kadang ia menjadi kuli murah pengecat meubel, kadang jadi tukang Koran, pokoknya pekerjaan-pekerjaan rendahan yang tak tetap dijalaninya demi sesuap nasi. Nuansa kemelaratan hidup jelas mewarnai hampir semua karya-karyanya, mari kita simak petikan sajak Catatan Hari Ini yang dibuat pada Juni 1986;
Aku nganggur lagi
Ibu kelap-kelip matanya ngitung hutang
Bapak pulang kerja
Setelah makan sepiring
Lalu mandi tanpa sabun
Tadi siang ibu tanya padaku
Kapan ada uang?
Bahasanya lugas, sederhana dan menukik, itulah ciri khas yang melekat pada guratan-guratan syairnya, hal itulah yang membuat syairnya terus hidup walau sang penyair telah tiada hilang entah kemana. Konon kabarnya Widji Thukul dihilangkan paksa oleh rezim ORBA Soeharto, hingga kini jasadnya tak diketemukan, mungkinkah Tim Mawar Prabowo berada dibelakang penculikan Widji? Wallahu’alam.
Sadar bahwa organisasi adalah sarana atau alat perjuangan dan perlawanan, pada tahun 1994 ia bersama kawan-kawannya mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), pada Mei 1994 ia berkumpul bersama dengan elemen-elemen Pro Demokrasi di Jakarta, dalam pertemuan akbar tersebut didirikanlah payung organisasi yang bernama Persatuan Rakyat Demokratik, dalam pertemuan itu pula Widji dipilih menjadi ketua divisi kebudayaan. Memasuki tahun 1996, Persatuan Rakyat Demokratik berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik. Lima hari setelah deklarasi PRD, pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan kantor PDI Megawati di Jalan Diponegoro, militer langsung menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan, suatu tuduhan yang kemudian hari tak terbukti di pengadilan. Pada bulan Oktober 1994 PRD dan Jakker dibubarkan oleh rezim Soeharto. Setelah pimpinan PRD ditangkapi PRD bergerak di bawah tanah. Setelah itu Widji menghilang entah kemana, spekulasi bereder ia dihilangkan paksa oleh pihak militer Soeharto, tapi hingga kini jasadnya belum diketemukan.
KONSOLIDASI DEMOKRASI PASCA REFORMASI
Widji telah tiada, tapi kerja kerasnya membuka pintu emas demokrasi akan terus dikenang oleh sejarah. Pasca reformasi Indonesia terus berbenah, berbagai perubahan berjalan perlahan, hari ini kita bisa berteriak lantang tanpa adanya intimidasi dari pihak militer, hari ini kita bisa berdemonstrasi, berdiskusi, berorganisasi tanpa gangguan dari pihak manapun. Ada beberapa perubahan yang cukup besar di ranah politik Indonesia seperti; Penerapan Sistem Multipartai, Pilpres Langsung, Penerapan Sistem Parlemen Bicameral, Pilkada Langsung, diakomodirnya calon Independen pada Pilkada Langsung, Penerapan Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Penerapan Otonomi Daerah. Saya optimis kelak Indonesia bergerak secara perlahan-lahan menjadi negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, karena jauh sebelum reformasi dijalankan, para founding father bangsa kita telah meletakkan dua fondasi demokrasi yang kuat bagi Indonesia, yakni pertama, prinsip Bhinneka Tunggal Ika, “berbeda-beda tapi satu jua”, prinsip Bhinneka tunggal Ika bermakna lebih luas ketimbang prinsip “pluralism” yang gembor-gemborkan pihak barat. Mari kita bahas secara singkat tulisan Mpu Sutasoma;
Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangrawa,
Rwaneka datu winuwus wara buda wiswa,
Bhineki rakwa ringapan kena parwa nosen,
Mangkan jinatwa, kalawan siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa
Sumber-sumber ajaran agama kuno berbeda-beda,
Tapi bicara mengenai Sang Kuasa, kapankah dia dapat dibagi-bagi,
Karena baik ajaran siwa-maupun budha, adalah tunggal,
Berbeda-beda tetap tunggal, dharma tak dapat dibagi-bagi
Jaman dahulu, ratusan tahun yang silam, perang besar antara agama budha dan siwa nyaris terjadi. Hal itu dapat dicegah, karena dialog antara pemuka-pemuka agama. Dialog tersebut mengasilkan fatwa yang mengikat kedua belah pihak. Fatwa tersebut juga yang akhirnya mengikat kerukunan seluruh nusantara ratusan tahun kemudian.
Di era kemerdekaan, Bung Karno, Sang Proklamator, menyatakan diri sebagai ”penggali” bukan pencipta Pancasila. Karena Pancasila sudah menjadi pedoman atau falsafah hidup warga Nusantara, sejak ribuan tahun yang silam. Bhineka Tunggal Ika, sudah menjadi bhisama yang mengikat bagi kerajaan-kerajaan di Tanah Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konflik-konflik agama, bukannya baru terjadi sekarang ini, melainkan telah pernah terjadi berkali-kali dalam kurun waktu ratusan tahun. Bangsa kita telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan persatuan dan kesatuan. Inilah sebuah “Legacy” yang akan terus turun temurun dilanggengkan oleh anak cucu Indonesia. Oleh karenanya saya berkeyakinan demokrasi yang dijiwai dengan semangat “bhinneka” akan mampu menjadi demokrasi yang berkualitas.
Prinsip kedua, prinsip pada sila ke-empat Pancasila yakni; “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawarahan-perwakilan”. Demokrasi yang dikehendaki founding father adalah demokrasi perwakilan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan bukan demokrasi Machiavelli-an yang saling menyerang dan membunuh, atau demokrasi kebablasan yang melahirkan anarkhi dan teror.
OTONOMI DAERAH DAN KONSOLIDASI DEMOKRASI DI TINGKATAN LOKAL
Manarik apa yang sudah diungkapkan oleh sahabatku, Iman Ariadi dalam artikelnya di Barayapost yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Sejak tahun 2003 saya dan beberapa kawan-kawan di Bandung sering berkumpul dan berdiskusi tentang persoalan pokok yang dihadapi masyarakat Banten pada umumnya dan masyarakat Cilegon pada khususnya, kami berpendapat bahwa persoalan pokok yang dihadapi Banten adalah persoalan kepemimpinan yang lemah, kepemimpinan yang tak memiliki visi, kepemimpinan yang kurang bersih, itulah yang mengakibatkan Banten lamban bertransformasi menjadi daerah yang maju, kita melihat perbedaan besar misalnya antara Banten dan Gorontalo, padahal usia kedua provinsi tersebut hampir sama tapi mengapa Banten tertinggal dengan Gorontalo?, jawabannya adalah “kepemimpinan yang lemah!”.
Lambannya pembangunan dan pemerataan ekonomi menuju kemajuan dan kemakmuran daerah bukan hanya terjadi di Cilegon, Pandeglang, Serang atau Banten tapi juga terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, Otonomi Daerah yang merupakan dambaan rakyat Indonesia sejak tahun 50-an rupanya belum mampu menjadi alat yang efektif untuk memakmurkan dan memajukan daerah, apakah ini sebuah paradok Otonomi Daerah ataukah Otonomi Daerah memerlukan waktu yang “agak panjang” untuk berproses dan beradaptasi di Indonesia?.
Pasca Otonomi daerah dijalankan di Banten, kita mendapati fakta, para pemimpin yang muncul justru tidak memiliki visi, malah justru berwatak “binatang”, Gubernur Banten yang pertama terjerat kasus Korupsi Dana Kavling Perumahan, Pimpinan DPRD Banten juga dipenjara akibat Kasus Korupsi Dana Perumahan. Hari ini di Pandeglang, Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah terjerat Kasus Korupsi Dana Hutang Daerah sebesar 200 milyar rupiah, di Cilegon beberapa kasus korupsi seperti Kasus Pembebasan Lahan Kubangsari, Kasus Jasa Pelabuhan, Kasus Penggelapan Dana Perusahaan Labour Supply, Kasus Mark Up Tugboat, Kasus Pagar Dewan, Kasus Mark Up Lahan BLK dan lain-lain, ternyata Otonomi Daerah menghasilkan penguasa-penguasa beserta kroni yang korup.
Ini merupakan fakta bahwa dibukanya keran Otonomi Daerah dan Demokrasi tidak lantas mengakibatkan masyarakat menjadi makmur, mengapa hal ini terjadi?. Menurut saya pertama, ini diakibatkan karena demokrasi dijalanakan tanpa penegakan hukum, demokrasi yang demikian itu hanya akan menguntungkun elit-elit politik dan kroni penguasa, sehingga untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu diimbangi oleh proses penegakan hukum. Kedua, untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu kiranya kita mengangkat pemimpin yang memiliki visi jangka panjang, tapi apakah mungkin dengan pendidikan politik yang lemah masyarakat mampu mengangkat pemimpin yang visioner?, bukankah pemimpin lahir dari rahim rakyat? Sehingga model kepemimpinan akan mengikuti tahapan perkembangan rakyat, dimana “rakyat yang kurang sehat” akan melahirkan “pemimpin yang kurang sehat”?. Inilah tantangan para intelektual muda untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar masyarakat berhati-hati dalam menentukan pilihan politis-nya terutama sekali perihal menentukan pemimpin masa depan.
KRITIK TERHADAP ARTIKEL IMAN ARIADI
Iman Ariadi dalam artikelnya yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal di Harian Barayapost (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Mari kita petik dan bahas beberapa tulisan Iman dari pembukaan hingga penutup:
Di awal tulisannya Iman mengungkap fenomena transisi demokrasi yang menggelisahkan hatinya dan hati ayahnya(?);
“…selain bermunculannya partai-partai, fenomena lain dalam transisi demokrasi adalah munculnya kelompok-kelompok kepentingan (interest group), yang berubah menjadi kelompok penekan (pressure group) yang berusaha untuk mempengaruhi serta melakukan upaya-upaya mobilisasi massa agar masuk dalam arena public dengan harapan dapat meraih kekuasaan dengan cara menekan pemerintah agar posisi pemerintah menjadi lemah di hadapan rakyat…”
Iman memandang negatif pada “pressure group” padahal keberadaan “pressure group” justru mutlak diperlukan guna mengimbangi kekuasaan eksekutif yang terlampau besar, terutama kekuasan kepala daerah di zaman Otda. Kekuatan parlemen sebagai penyeimbang acap kali tak mampu berbuat apa-apa dan tidak efektif menjadi kekuatan kontrol, karena terkadang dikalahkan oleh konsensus-konsensus yang dibuat oleh eksekutif untuk menjinakkan kekuatan partai-partai politik sehingga kekuatan gerakan ekstra-parlementer mutlak diperlukan untuk mengimbangi kekuatan eksekutif.
Lalu Iman menukil catatan beberapa pemikir barat:
“…menurut Gerry Stokker bangunan demokrasi di tingkatan local akan menopang kuatnya demokrasi di tingkatan nasional…”
Tanpa harus menukil pemikiran Gery Stokker semua kaum intelektual sudah paham dengan gagasan tersebut, kekuatan ekonomi politik yang solid di daerah akan berdampak pada
penguatan ekonomi-politik secara makro. Kemudian Iman melanjutkan ;
“….budaya asal kritik yang dilakukan oleh kelompok demonstran yang biasa mengatasnamakan LSM perubahan misalnya, pada fakta sebenarnya mereka justru mendompleng isu perubahan untuk kepentingan politik praktis. Pada kontek ini mereka sedang mengmbangkan budaya asal kritik meskipun kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”.
"Salah satu tawaran Jhon Stewart adalah adanya pendidikan politik bagi masyarakat, sementara David Curry memberikan tawaran konsep yang salah satunya adalah bagaimana elit politik local menjadi generator bagi terciptanya kepentingan masyarakat, konsep yang ditawarkan kedua pemikir berpijak pada satu kenyataan bahwa intensitas masyarakat di tingkat local dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari lebih dimungkinkan terlibat dalam dinamika lokalm daripada isu yang bersifat makro-nasional…"
Pernyataan Iman dalam tulisan diatas menggunakan teknik klasik untuk menyerang musuh politik secara elegan dengan cara menukil secuil pemikiran Jhon Stewart dan David Curry, Iman menyebut pressure group sebagai “Kelompok demonstran yang mengatasnamakan LSM Perubahan” lalu ia menegaskan massege politiknya ”kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”. Serangan itu tertuju kepada para aktivis Brigade Pelopor Perubahan (BPP) yang acap kali turun aksi untuk mendesak penuntasan kasus korupsi di kota Cilegon, adapun tuduhan Iman terkait “kritik yang asal-asalan” jelas hal ini bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang dikeluarkan oleh aktivis BPP, para aktivis BPP siap bertanggungjawab penuh terhadap validitas kritik yang dilontarkan.
Apa yang dilakukan para aktivis BPP adalah semunya demi memperkuat kualitas demokrasi di daerah, demokrasi tanpa penegaklan hukum hanyalah “demokrasi sampah” yang tidak akan mampu menghasilkan cita-cita luhur para pendiri bangsa yakni kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Kami menyadari bahwa perjuangan yang kami lakukan tentunya akan menemui berbagai rintangan dan halangan, ini jelas terlihat ketika ada beberapa LSM Pro Pemerintah yang men-cap Ir.Isbatullah Alibasja sebagai provokator yang mengakibatkan suasana cilegon menjadi tidak kondusif, trik-trik politik model demikian mengingatkan kita pada operasi-operasi khusus (opsus) yang dilakukan rezim ORBA pada organisasi-orgaisasi yang dianggap membahayakan pemerintah, sehingga ada sebagian kaum intelektual muda cilegon yang menganggap bahwa rezim yang berkuasa di Cilegon menyerupai “miniatur rezim ORBA Soeharto”. Tapi kami tak berkecil hati karena dahulu Bung Kano, Hatta dan Tan Malaka pun dicap pengacau dan provokator oleh Belanda tapi sejarah membuktikan bahwa mereka adalah para pembela bangsa. Biarlah sejarah yang akan menilai apakah Ir.Isbatullah Alibasja adalah provokator ataukah ia pembela rakyat kota Cilegon.
Kemudian Iman menulis di akhir tulisannya untuk mempertegas “massage politik” yang ia hendak sampaikan ke publik:
“…Tak selayaknya elit politik melakukan tindakan politisasi negatif yang jauh dari nilai-nilai kesantunan politik (fatsoen politik), yang orientasinya hanya sebatas kepentingan politik sesaat...”
Pandangan saudara Iman sangat nampak sekali terlihat sebagai bentuk pembelaan terhadap ayahnya, Aat Syafaat yang menjabat sebagai Walikota Cilegon. Terkait dengan mulai beraninya elemen-elemen Pro Demokrasi di kota Cilegon melakukan aksi massa yang menuntut penuntasan kasus korupsi dan penegakan keadilan, karena intensitas aksi di kota cilegon mulai naik, rezim yang berkuasa mengalami kepanikan. Kita melihat beberapa pekan terakhir beberapa aksi massa yang dilakukan aktifis BPP, Mahasiswa dan Serikat Buruh PT.KS berjalan massif dan damai.
Sebagai sahabat, saya hendak menyampaikan kepada saudara Iman Ariadi bahwa tanpa adanya kemerdekaan Pers dan kedaulatan Ornop (baca: organisasi non pemerintah) demokrasi lokal akan terasa hambar dan hanya akan menjadi demokrasi yang lemah, oleh karenanya kami aktivis BPP akan terus berjuang tanpa lelah untuk memperkuat demokrasi lokal serta mendorong konsolidasi demokrasi menuju terciptanya kemakmuran dan keadilan di kota Cilegon. Sekali lagi kami mengingatkan kepada rezim yang berkuasa di kota Cilegon, jika kritik kami dianggap sebagai bentuk provokasi, maka jawaban kami ada di bait terakhir puisi “peringatan” karya Widji Thukul :
Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
Lalu Iman di alinea terakhir menulis sambil berharap:
“…harapannya di masa depan akan muncul calon-calon pemimpin daerah yang tidak hanya sekedar pemimpin tetapi juga sebagai generator...”
Saya sependapat dengan saudara Iman perihal pemimpin daerah yang berfungsi sebagai generator, tapi menurut saya pemimpin daerah tidak cukup hanya menjadi generator, ia juga harus mampu menjadi katalisator yang mempercepat “reaksi kimia politik” yang mengakibatkan kemakmuran dan pemerataan. Wallahua’lam
Ir.Isbatullah Alibasja
Komandan Brigade Pelopor Perubahan
Jika rakyat pergi
Ketika penguasa berpidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Dan bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
(Peringatan, Widji Thukul 1987)
MENGENANG SOSOK WIDJI THUKUL
Sewaktu masih kuliah di ITB saya mulai mengenal sajak-sajak pembebasan Widji Thukul, buku kumpulan puisi Widji Thukul yang pertama saya baca adalah Aku Ingin jadi Peluru (2000), berdebar hati ini membaca jeritan dan perlawanan sang penyair miskin asal solo itu, seakan-akan kata-kata itu hidup dan berteriak lantang di alam nuraniku. Sekitar tahun 2004 aku juga sempat bertemu dengan Mba Sipon, istri Widji Thukul di Bandung dalam sebuah acara diskusi yang diselenggarakan oleh Kontras. Mba Sipon kini bergabung bersama LSM Pro Demokrasi yang sibuk mengkampanyekan gerakan moril melawan kekerasan Negara. Rupanya semangat Widji menginspirasi Mba Sipon untuk berjuang menegakkan kemanusiaan.
Sajak-sajak Widji lahir dari kegelisahan dan himpitan hidup yang dialami langsung oleh sang penyair, rumah Widji berlantai tanah, di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk, sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan, kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar tanpa kran air ledeng. Terkadang Widji mengamen puisi sekedar mencari receh, kadang ia menjadi kuli murah pengecat meubel, kadang jadi tukang Koran, pokoknya pekerjaan-pekerjaan rendahan yang tak tetap dijalaninya demi sesuap nasi. Nuansa kemelaratan hidup jelas mewarnai hampir semua karya-karyanya, mari kita simak petikan sajak Catatan Hari Ini yang dibuat pada Juni 1986;
Aku nganggur lagi
Ibu kelap-kelip matanya ngitung hutang
Bapak pulang kerja
Setelah makan sepiring
Lalu mandi tanpa sabun
Tadi siang ibu tanya padaku
Kapan ada uang?
Bahasanya lugas, sederhana dan menukik, itulah ciri khas yang melekat pada guratan-guratan syairnya, hal itulah yang membuat syairnya terus hidup walau sang penyair telah tiada hilang entah kemana. Konon kabarnya Widji Thukul dihilangkan paksa oleh rezim ORBA Soeharto, hingga kini jasadnya tak diketemukan, mungkinkah Tim Mawar Prabowo berada dibelakang penculikan Widji? Wallahu’alam.
Sadar bahwa organisasi adalah sarana atau alat perjuangan dan perlawanan, pada tahun 1994 ia bersama kawan-kawannya mendirikan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), pada Mei 1994 ia berkumpul bersama dengan elemen-elemen Pro Demokrasi di Jakarta, dalam pertemuan akbar tersebut didirikanlah payung organisasi yang bernama Persatuan Rakyat Demokratik, dalam pertemuan itu pula Widji dipilih menjadi ketua divisi kebudayaan. Memasuki tahun 1996, Persatuan Rakyat Demokratik berubah menjadi Partai Rakyat Demokratik. Lima hari setelah deklarasi PRD, pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan kantor PDI Megawati di Jalan Diponegoro, militer langsung menuduh PRD sebagai dalang kerusuhan, suatu tuduhan yang kemudian hari tak terbukti di pengadilan. Pada bulan Oktober 1994 PRD dan Jakker dibubarkan oleh rezim Soeharto. Setelah pimpinan PRD ditangkapi PRD bergerak di bawah tanah. Setelah itu Widji menghilang entah kemana, spekulasi bereder ia dihilangkan paksa oleh pihak militer Soeharto, tapi hingga kini jasadnya belum diketemukan.
KONSOLIDASI DEMOKRASI PASCA REFORMASI
Widji telah tiada, tapi kerja kerasnya membuka pintu emas demokrasi akan terus dikenang oleh sejarah. Pasca reformasi Indonesia terus berbenah, berbagai perubahan berjalan perlahan, hari ini kita bisa berteriak lantang tanpa adanya intimidasi dari pihak militer, hari ini kita bisa berdemonstrasi, berdiskusi, berorganisasi tanpa gangguan dari pihak manapun. Ada beberapa perubahan yang cukup besar di ranah politik Indonesia seperti; Penerapan Sistem Multipartai, Pilpres Langsung, Penerapan Sistem Parlemen Bicameral, Pilkada Langsung, diakomodirnya calon Independen pada Pilkada Langsung, Penerapan Otonomi Khusus di Papua dan Aceh, Penerapan Otonomi Daerah. Saya optimis kelak Indonesia bergerak secara perlahan-lahan menjadi negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, karena jauh sebelum reformasi dijalankan, para founding father bangsa kita telah meletakkan dua fondasi demokrasi yang kuat bagi Indonesia, yakni pertama, prinsip Bhinneka Tunggal Ika, “berbeda-beda tapi satu jua”, prinsip Bhinneka tunggal Ika bermakna lebih luas ketimbang prinsip “pluralism” yang gembor-gemborkan pihak barat. Mari kita bahas secara singkat tulisan Mpu Sutasoma;
Bhinneka tunggal ika, Tan hana dharma mangrawa,
Rwaneka datu winuwus wara buda wiswa,
Bhineki rakwa ringapan kena parwa nosen,
Mangkan jinatwa, kalawan siwatatwa tunggal,
Bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa
Sumber-sumber ajaran agama kuno berbeda-beda,
Tapi bicara mengenai Sang Kuasa, kapankah dia dapat dibagi-bagi,
Karena baik ajaran siwa-maupun budha, adalah tunggal,
Berbeda-beda tetap tunggal, dharma tak dapat dibagi-bagi
Jaman dahulu, ratusan tahun yang silam, perang besar antara agama budha dan siwa nyaris terjadi. Hal itu dapat dicegah, karena dialog antara pemuka-pemuka agama. Dialog tersebut mengasilkan fatwa yang mengikat kedua belah pihak. Fatwa tersebut juga yang akhirnya mengikat kerukunan seluruh nusantara ratusan tahun kemudian.
Di era kemerdekaan, Bung Karno, Sang Proklamator, menyatakan diri sebagai ”penggali” bukan pencipta Pancasila. Karena Pancasila sudah menjadi pedoman atau falsafah hidup warga Nusantara, sejak ribuan tahun yang silam. Bhineka Tunggal Ika, sudah menjadi bhisama yang mengikat bagi kerajaan-kerajaan di Tanah Nusantara, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konflik-konflik agama, bukannya baru terjadi sekarang ini, melainkan telah pernah terjadi berkali-kali dalam kurun waktu ratusan tahun. Bangsa kita telah memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan persatuan dan kesatuan. Inilah sebuah “Legacy” yang akan terus turun temurun dilanggengkan oleh anak cucu Indonesia. Oleh karenanya saya berkeyakinan demokrasi yang dijiwai dengan semangat “bhinneka” akan mampu menjadi demokrasi yang berkualitas.
Prinsip kedua, prinsip pada sila ke-empat Pancasila yakni; “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan dalam permusyawarahan-perwakilan”. Demokrasi yang dikehendaki founding father adalah demokrasi perwakilan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan bukan demokrasi Machiavelli-an yang saling menyerang dan membunuh, atau demokrasi kebablasan yang melahirkan anarkhi dan teror.
OTONOMI DAERAH DAN KONSOLIDASI DEMOKRASI DI TINGKATAN LOKAL
Manarik apa yang sudah diungkapkan oleh sahabatku, Iman Ariadi dalam artikelnya di Barayapost yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Sejak tahun 2003 saya dan beberapa kawan-kawan di Bandung sering berkumpul dan berdiskusi tentang persoalan pokok yang dihadapi masyarakat Banten pada umumnya dan masyarakat Cilegon pada khususnya, kami berpendapat bahwa persoalan pokok yang dihadapi Banten adalah persoalan kepemimpinan yang lemah, kepemimpinan yang tak memiliki visi, kepemimpinan yang kurang bersih, itulah yang mengakibatkan Banten lamban bertransformasi menjadi daerah yang maju, kita melihat perbedaan besar misalnya antara Banten dan Gorontalo, padahal usia kedua provinsi tersebut hampir sama tapi mengapa Banten tertinggal dengan Gorontalo?, jawabannya adalah “kepemimpinan yang lemah!”.
Lambannya pembangunan dan pemerataan ekonomi menuju kemajuan dan kemakmuran daerah bukan hanya terjadi di Cilegon, Pandeglang, Serang atau Banten tapi juga terjadi di hampir seluruh daerah di Indonesia, Otonomi Daerah yang merupakan dambaan rakyat Indonesia sejak tahun 50-an rupanya belum mampu menjadi alat yang efektif untuk memakmurkan dan memajukan daerah, apakah ini sebuah paradok Otonomi Daerah ataukah Otonomi Daerah memerlukan waktu yang “agak panjang” untuk berproses dan beradaptasi di Indonesia?.
Pasca Otonomi daerah dijalankan di Banten, kita mendapati fakta, para pemimpin yang muncul justru tidak memiliki visi, malah justru berwatak “binatang”, Gubernur Banten yang pertama terjerat kasus Korupsi Dana Kavling Perumahan, Pimpinan DPRD Banten juga dipenjara akibat Kasus Korupsi Dana Perumahan. Hari ini di Pandeglang, Bupati Pandeglang Dimyati Natakusumah terjerat Kasus Korupsi Dana Hutang Daerah sebesar 200 milyar rupiah, di Cilegon beberapa kasus korupsi seperti Kasus Pembebasan Lahan Kubangsari, Kasus Jasa Pelabuhan, Kasus Penggelapan Dana Perusahaan Labour Supply, Kasus Mark Up Tugboat, Kasus Pagar Dewan, Kasus Mark Up Lahan BLK dan lain-lain, ternyata Otonomi Daerah menghasilkan penguasa-penguasa beserta kroni yang korup.
Ini merupakan fakta bahwa dibukanya keran Otonomi Daerah dan Demokrasi tidak lantas mengakibatkan masyarakat menjadi makmur, mengapa hal ini terjadi?. Menurut saya pertama, ini diakibatkan karena demokrasi dijalanakan tanpa penegakan hukum, demokrasi yang demikian itu hanya akan menguntungkun elit-elit politik dan kroni penguasa, sehingga untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu diimbangi oleh proses penegakan hukum. Kedua, untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah perlu kiranya kita mengangkat pemimpin yang memiliki visi jangka panjang, tapi apakah mungkin dengan pendidikan politik yang lemah masyarakat mampu mengangkat pemimpin yang visioner?, bukankah pemimpin lahir dari rahim rakyat? Sehingga model kepemimpinan akan mengikuti tahapan perkembangan rakyat, dimana “rakyat yang kurang sehat” akan melahirkan “pemimpin yang kurang sehat”?. Inilah tantangan para intelektual muda untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar masyarakat berhati-hati dalam menentukan pilihan politis-nya terutama sekali perihal menentukan pemimpin masa depan.
KRITIK TERHADAP ARTIKEL IMAN ARIADI
Iman Ariadi dalam artikelnya yang berjudul, Amanat Reformasi 98: Pentingnya Kualitas Demokrasi Lokal di Harian Barayapost (20/5/2009), tulisan tersebut merupakan “serangan politik halus” terhadap gerakan pro perubahan yang kami gulirkan di kota cilegon. Mari kita petik dan bahas beberapa tulisan Iman dari pembukaan hingga penutup:
Di awal tulisannya Iman mengungkap fenomena transisi demokrasi yang menggelisahkan hatinya dan hati ayahnya(?);
“…selain bermunculannya partai-partai, fenomena lain dalam transisi demokrasi adalah munculnya kelompok-kelompok kepentingan (interest group), yang berubah menjadi kelompok penekan (pressure group) yang berusaha untuk mempengaruhi serta melakukan upaya-upaya mobilisasi massa agar masuk dalam arena public dengan harapan dapat meraih kekuasaan dengan cara menekan pemerintah agar posisi pemerintah menjadi lemah di hadapan rakyat…”
Iman memandang negatif pada “pressure group” padahal keberadaan “pressure group” justru mutlak diperlukan guna mengimbangi kekuasaan eksekutif yang terlampau besar, terutama kekuasan kepala daerah di zaman Otda. Kekuatan parlemen sebagai penyeimbang acap kali tak mampu berbuat apa-apa dan tidak efektif menjadi kekuatan kontrol, karena terkadang dikalahkan oleh konsensus-konsensus yang dibuat oleh eksekutif untuk menjinakkan kekuatan partai-partai politik sehingga kekuatan gerakan ekstra-parlementer mutlak diperlukan untuk mengimbangi kekuatan eksekutif.
Lalu Iman menukil catatan beberapa pemikir barat:
“…menurut Gerry Stokker bangunan demokrasi di tingkatan local akan menopang kuatnya demokrasi di tingkatan nasional…”
Tanpa harus menukil pemikiran Gery Stokker semua kaum intelektual sudah paham dengan gagasan tersebut, kekuatan ekonomi politik yang solid di daerah akan berdampak pada
penguatan ekonomi-politik secara makro. Kemudian Iman melanjutkan ;
“….budaya asal kritik yang dilakukan oleh kelompok demonstran yang biasa mengatasnamakan LSM perubahan misalnya, pada fakta sebenarnya mereka justru mendompleng isu perubahan untuk kepentingan politik praktis. Pada kontek ini mereka sedang mengmbangkan budaya asal kritik meskipun kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”.
"Salah satu tawaran Jhon Stewart adalah adanya pendidikan politik bagi masyarakat, sementara David Curry memberikan tawaran konsep yang salah satunya adalah bagaimana elit politik local menjadi generator bagi terciptanya kepentingan masyarakat, konsep yang ditawarkan kedua pemikir berpijak pada satu kenyataan bahwa intensitas masyarakat di tingkat local dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari lebih dimungkinkan terlibat dalam dinamika lokalm daripada isu yang bersifat makro-nasional…"
Pernyataan Iman dalam tulisan diatas menggunakan teknik klasik untuk menyerang musuh politik secara elegan dengan cara menukil secuil pemikiran Jhon Stewart dan David Curry, Iman menyebut pressure group sebagai “Kelompok demonstran yang mengatasnamakan LSM Perubahan” lalu ia menegaskan massege politiknya ”kritiknya bersifat asal-asalan dan tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya”. Serangan itu tertuju kepada para aktivis Brigade Pelopor Perubahan (BPP) yang acap kali turun aksi untuk mendesak penuntasan kasus korupsi di kota Cilegon, adapun tuduhan Iman terkait “kritik yang asal-asalan” jelas hal ini bertentangan dengan fakta-fakta hukum yang dikeluarkan oleh aktivis BPP, para aktivis BPP siap bertanggungjawab penuh terhadap validitas kritik yang dilontarkan.
Apa yang dilakukan para aktivis BPP adalah semunya demi memperkuat kualitas demokrasi di daerah, demokrasi tanpa penegaklan hukum hanyalah “demokrasi sampah” yang tidak akan mampu menghasilkan cita-cita luhur para pendiri bangsa yakni kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat. Kami menyadari bahwa perjuangan yang kami lakukan tentunya akan menemui berbagai rintangan dan halangan, ini jelas terlihat ketika ada beberapa LSM Pro Pemerintah yang men-cap Ir.Isbatullah Alibasja sebagai provokator yang mengakibatkan suasana cilegon menjadi tidak kondusif, trik-trik politik model demikian mengingatkan kita pada operasi-operasi khusus (opsus) yang dilakukan rezim ORBA pada organisasi-orgaisasi yang dianggap membahayakan pemerintah, sehingga ada sebagian kaum intelektual muda cilegon yang menganggap bahwa rezim yang berkuasa di Cilegon menyerupai “miniatur rezim ORBA Soeharto”. Tapi kami tak berkecil hati karena dahulu Bung Kano, Hatta dan Tan Malaka pun dicap pengacau dan provokator oleh Belanda tapi sejarah membuktikan bahwa mereka adalah para pembela bangsa. Biarlah sejarah yang akan menilai apakah Ir.Isbatullah Alibasja adalah provokator ataukah ia pembela rakyat kota Cilegon.
Kemudian Iman menulis di akhir tulisannya untuk mempertegas “massage politik” yang ia hendak sampaikan ke publik:
“…Tak selayaknya elit politik melakukan tindakan politisasi negatif yang jauh dari nilai-nilai kesantunan politik (fatsoen politik), yang orientasinya hanya sebatas kepentingan politik sesaat...”
Pandangan saudara Iman sangat nampak sekali terlihat sebagai bentuk pembelaan terhadap ayahnya, Aat Syafaat yang menjabat sebagai Walikota Cilegon. Terkait dengan mulai beraninya elemen-elemen Pro Demokrasi di kota Cilegon melakukan aksi massa yang menuntut penuntasan kasus korupsi dan penegakan keadilan, karena intensitas aksi di kota cilegon mulai naik, rezim yang berkuasa mengalami kepanikan. Kita melihat beberapa pekan terakhir beberapa aksi massa yang dilakukan aktifis BPP, Mahasiswa dan Serikat Buruh PT.KS berjalan massif dan damai.
Sebagai sahabat, saya hendak menyampaikan kepada saudara Iman Ariadi bahwa tanpa adanya kemerdekaan Pers dan kedaulatan Ornop (baca: organisasi non pemerintah) demokrasi lokal akan terasa hambar dan hanya akan menjadi demokrasi yang lemah, oleh karenanya kami aktivis BPP akan terus berjuang tanpa lelah untuk memperkuat demokrasi lokal serta mendorong konsolidasi demokrasi menuju terciptanya kemakmuran dan keadilan di kota Cilegon. Sekali lagi kami mengingatkan kepada rezim yang berkuasa di kota Cilegon, jika kritik kami dianggap sebagai bentuk provokasi, maka jawaban kami ada di bait terakhir puisi “peringatan” karya Widji Thukul :
Apabila usul ditolak
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
Lalu Iman di alinea terakhir menulis sambil berharap:
“…harapannya di masa depan akan muncul calon-calon pemimpin daerah yang tidak hanya sekedar pemimpin tetapi juga sebagai generator...”
Saya sependapat dengan saudara Iman perihal pemimpin daerah yang berfungsi sebagai generator, tapi menurut saya pemimpin daerah tidak cukup hanya menjadi generator, ia juga harus mampu menjadi katalisator yang mempercepat “reaksi kimia politik” yang mengakibatkan kemakmuran dan pemerataan. Wallahua’lam
Ir.Isbatullah Alibasja
Komandan Brigade Pelopor Perubahan
FAKIH DIPANGGIL KEJATI
Fakih Usman hanya Diperiksa Satu Jam
By redaksi Radar Banten
Jumat, 29-Mei-2009, 07:41:32
SERANG – Sempat sekali tak penuhi panggilan dari Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati), direksi PT ABN Fakih Usman akhirnya datang ke Kejati Banten, Kamis (28/5), untuk menjalani pemeriksaan terkait pelaporan ratusan karyawan perusahaannya yang menduga ada korupsi dana Jamkesos senilai Rp 14 miliar. Kendati demikian, ia hanya diperiksa sekira sejam karena ia tak membawa data dan dokumen lengkap terkait Jamkesos. Berdasarkan keterangan Asisten Intelijen Kejati Banten Firdaus Dewilmar, setiba di Kejati, caleg terpilih dari partai Golkar untuk DPRD Banten itu langsung menuju ke aula Kejati Banten. Disana ia berhadapan dengan jaksa penyelidik Diki Oktavia dan Permana, dan Herry BSR Putra. “Tapi ia ternyata tak membawa dokumen lengkap tentang kasus yang kami selidiki, sehingga ia hanya diperiksa identitasnya dan dijadwalkan menjalani pemeriksaan lanjutan Jumat (29/5),” terangnya seraya menambahkan selain Fakih, perwakilan dari Divisi SDM dan Keuangan PT Krakatau Steel juga memenuhi panggilan pihaknya. Sekadar informasi, kasus ini mencuat setelah ratusan karyawan 4 perusahaan outsourcing untuk PT KS yaitu PT Baja Indah, PT Nusantara Bara Cilegon (NBC), PT Delapan Mitra Mandiri (DMM), dan PT Asa Bangun Nusantara (ABN) berdemo di Kejati Banten bulan lalu. Demo itu mereka gelar untuk meminta Kejati mengusut tuntas dugaan korupsi penggunaan dana-dana hak buruh di antaranya dana Jamsostek (Jamkesos), pajak penghasilan 21 (PPh 21), dan uang pesangon yang selama ini dipotong dari penghasilan mereka tetapi tidak konkret bukti setorannya maupun hasilnya dengan total nilai Rp 14 miliar. Khusus untuk dana Jamsostek, dana itu bukannya dikelola secara langsung oleh PT Jamsostek tapi malah dikelola oleh Pemkot Cilegon sehingga namanya menjadi Jamkesos. Selain berdemo di Kejati ratusan karyawan itu juga pernah berdemo di kantor Dinsosnaker Kota Cilegon. (dew)
Langganan:
Postingan (Atom)